SELAMAT DATANG PARA PECINTA SENI DAN SASTRA

hidupkan dunia Seni dan Sastra dalam jiwamu OX ! ?

Kamis, 24 November 2011

Roeang Oleh : Oby_Zen

Rambut panjangnya tergerai bebas di atas lantai marmer putih ruang tamu, berbaur dengan ceceran acrylic dan batang-batang kuas lukis. Nampak sekali ia sedang menerawang jauh celah-celah amat sempit kanvas yang telah dilumuri warna-warna terang. Tak semua orang tau keinginannya, meski sebenarnya hanya sederhana saja; ingin berdialog menggunakan garis-garis tebal dan tipis serta titik terang dan gelap yang telah ia goreskan sendiri melalui perasaannya. Tak seperti aku, sebagai suaminya. Aku sudah terbiasa berdiskusi dengan siapa saja menggunakan narasi kata-kata yang kusususun sedemikian apik, agar semua orang tau bahwa segala pemikiranku sudah patut untuk dijadikan pokok pembahasan bersama. Sudah sejak tadi aku memandang wajah manisnya dari bingkai pintu ruang tamu, sebenarnya ingin sekali aku segera menghampiri dan membelai rambutnya yang panjang tergerai itu, sudah lama sekali aku tak melakukannya. Tapi aku tau benar dirinya, dia selalau tak ingin diganggu ketika sedang menggarap karya lukisnya, sedang beberap hari lagi ia harus memajang dalam ruang pameran tunggalnya. Kuurungkan niat itu. “mau kemana?”, aku membalikkan badan lagi secara spontan, setelah aku melangkakahkan kaki untuk yang kedua. Ternyata dia sudah menangkap kehadiranku. Dan tak seperti biasanya, raut wajahnya mengisyaratkan pengharapan. “temani aku”, pintanya pelan. Aku mulai melangkah mendekat dan kukecup keningnya. Sudah terbilang lama aku tak menghirup aroma masam keringatnya. Sejak ia mempersiapkan project besarnya ini, kami memang lebih sering tak tidur seranjang. Saban malam, sepulang aku dari kantor redaksi, pasti ia masih ingin memilih bersenggama dengan kanvas serta percakan catnya ketimbang dengan suaminya sendiri, dan pasti tak mau diganggu pula. Terlebih lagi keadaan ini semakin meruncing setelah perlakuanku padanya. “aku butuh teman”, bisiknya ditelingaku, sambil mempererat pelukannya ke tubuhku. Kusisir rambutnya dengan jari-jari, kudongakkan kepalanya agar aku dapat menatap kedua bola matanya yang resah, secara langsung. Bola mata yang lelah dalam ruang kesepian. “aku minta maaf atas ketidak sopananku”. Sesalnya. “seharusnya aku yang meminta maaf padamu terlebih dahulu, Sayang”. “sudahlah. Tak perlu dibahas lagi”. katanya, menghentikan perdebatan. Aku mampu merasakannya, teramat sangat ia membutuhkan – tak sekadar peluk dan kecup dariku—ia amat membutuhkan segala yang ada padaku, tak adalagi yang ia harapakan kedatangannya, selain aku. Namun tak mungkin kupungkiri pula, sebagai seorang suami, aku selalu berharap agar selalu ada baginya, istriku tercinta. Keadaan keluarga kecil kami seungguh teramat realistis—hanya saling mengharapkan satu sama lain—sebab belumlah hadir yang ketiga diantara kami. Pernikahan kami belum membuahkan hasil. *** Aku jadi ingin bercerita tentang satu hal penyebab pertikaian kami sampai saat ini. Semua orang yang pernah dekat dengan dirinya pasti tau benar sifatnya, istriku adalah wanita sensitif, dan waktu itu aku benar-benar telah meremas ulu hatinya. Date line pula yang menjadi penyebab utamanya, redaktur menuntut aku agar cepat meyerahkan satu naskah cerita untuk segera dimuat dalam rubrik majalah kami. Dan saat itu aku benar-benar sedang mati rasa, tak bisa menuangkan satu ceritapun untuk kujadikan naskah. Dan terpaksa aku mengangkat satu cerita yang sedikit menyentuh keadaan hubungan kami. “kalau kau tak bisa terima punya istri mandul, carilah yang lain lagi !!!”, luapan emosinya seperti muatan listrik, menyengat dengan voltage tinggi. Terlebih yang teramat sangat menakutkan bagiku. Sepagi itu ia berdiri berkacak pinggang di depanku, setelah merobek-robek kertas majalah pada kolom cerpen yang kutulis, “mengumbar dan melecehkan harga diri istri, itulah pekerjaanmu”. Teriaknya lantang. Aku hanya bisa diam. Sebab aku memang belum faham benar sebab ucapan yang keluar dari mulutnya. “semua yang bisa dibeli kau jual, hanya demi mencari makanan untuk rumah tangga kita. Sungguh mulia sekali suami seperti kau ini”. Aku mencoba menyabarkan diri dan mulai memunguti serakan kertas yang menghambur di hadapan kami berdua. Dan disitulah aku mulai menyadarinya. Setelah kubaca sederet kalimat berfont ukuran besar dan bercetak tebal, Dimana Kau Letakkan Buah Hati Kita? Rupanya dia benar-benar peka terhadap isi cerita yang kutulis di dalamnya. Berhari-hari ia mendiamkan aku, bahkan rasanya kami seperti tak pernah saling mengenali sebelumya—apalagi bersuami istri. Entahlah, apa memang seperti itulah sikap wanita yang sebenarnya? Sungguh diluar nalar duga dan prasangkaku. Sebenarnya aku tak bemaksud untuk terlalu mempermasalahkan karunia yang belum hadir dalam keluarga kecil kami, tapi aku hanya ingin menceritakan pemberontakan satu tokoh atas takdir kemandulan yang menimpa istrinya. Itu saja. Meskipun demikian, aku tak bisa membohongi diri bahwa ide ceritanya kuadaptasi dari keadaan keluarga kami sendiri. Dan sampai saat ini aku akan menyadari, bahwa sebenarnya ia ingin sekali memberikan buah hati untuk keluarga kecil ini, namun ia tak akan dapat berbuat apa-apa bila Tuhan belum mengijinkan. Entahlah, begitulah istriku. Meskipun aku tak mau menyebutkan namanya, dia akan tetap menjadi istriku ... *** Sinar matahari lebih dahulu menyusup ke dalam ruang kamar tidur kami berdua, Sebelum aku menyibakkan tirai seperti hari-hari biasa. Pandanganku langsung tertuju pada jarum jam dinding. Sudah menunjuk pada angka ke-9. Aku terdiam sesaat, mencoba mengingat hari. “ini hari Minggu, Yang …”. Aku terkaget. Suara itu muncul secara tiba-tiba dari mulut kamar mandi dalam yang baru tebuka. Aku tersenyum padanya. Rupanya istriku masih jeli dengan gelagat kebingunganku setiap bangun pagi begini. “lukisan terakhir sudah selesai, sudah didisplay di ruang pameran”. Belum sempat aku bertanya, dia sudah menjawabnya terlebih dahulu. Aku tersenyum untuk yang kedua kalinya sebangun tidur ini. “setelah ini aku pamit ke sana dulu”. Lanjutnya sembari mengeringkan rambut dengan handuk. Aku beranjak turun dari ranjang, mendekat kearahnya lantas kukecup keningnya yang masih basah. “hati-hati di jalan…”. Itulah kalimatku. Aku duduk di tepi ranjang. Menungguinya berdandan sampai selesai. Aku memeperhatikan sekecil apapun gerak geriknya. Meskipun sensitif dan gampang marah, ternyata ia juga cantik, baik hati dan pengertian juga kepada pasangannya. Batinku dalam hati. Sesudah ia berpamitan dan melangkahkan kaki keluar kamar, aku langsung menuju ke kamar mandi. Aku harus membersihkan diri juga. Aku harus mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadiri pameran tunggal istriku tercinta yang dibuka pada pukul tiga sore nanti—meskipun sebenarnya ia tak memintanya sendiri kepadaku— sebagai seorang suami aku harus tau diri. Sedikit banyak ‘dunia’ku sama dengan ‘dunia’nya. Ada istilah apresiasi pada buah karya. Seusai mandi dan mengenakan pakaian, aku bermaksud ke garasi untuk memanaskan mobil bututku. Dan betapa terkejutnya aku, ketika melewati meja ruang tamu. Di sana sudah tersedia secangkir kopi panas, sepotong roti panggang dan sebungkus rokok lengkap dengan korek apinya. Semuanya terhidang sebagai menu sarapanku pagi ini. Entahlah untuk keberapa kalinya aku memuji kebaikan istriku sepagi ini. Di tengah kesibukan persiapan acara istimewanya, dia masih sempat menyajikan hal teristimewa untukku. Suaminya. Akhirnya mau tak mau aku menunda niatku semula ke garasi. Aku duduk tepat di hadap hidangan kopi. Masih mengeluarkan kepulan asap aroma khas racikan yang tak mungkin asing lagi di hidungku. Aku melanjutkannya dengan menyantap roti panggang yang masih hangat pula. Tapi ketika kugigit ada sesuatu yang mengganjal di antara rongga gigi depan atas dan bawahku. Kutarik keluar dari mulut roti panggang itu. Aku mencoba membuka lipatannya. Aku tersenyum geli melihatnya. Diantara lumuran selai coklat terselip sepotong kertas berlapis plastik, bertulis Selamat Ulang Tahun, Sayang. Dan bergambar smile serta batang-batang lilin yang pasti ia buat sendiri dengan pensil. Aku baru sadar. Pada kalender duduk di atas meja, tertulis tanggal 26 Maret. Ini hari ulang tahunku. Dan istriku tak pernah melupakannya. *** Suara riuh tepuk tangan sudah untuk kesekian kalinya. Dan yang kusebutkan ini, untuk pemotongan pita tanda dibukanya pameran tunggal milik istriku. Aku sengaja tak datang sejak awal acara dimulai. Aku ingin membalas surprise dan perlakuan baiknya terhadapku sejak pagi tadi. Aku memilih berdiri diantara kerumunan mahasiswa jurusan seni rupa yang pasti datang setiap pembukaan pameran tiba. Selain mencari referensi tugas-tugas kuliah, mereka juga berprofesi sebagai snack-er (pemburu snack).Biarkan saja, mereka masih mahasiswa. Dari kejauhan, aku menunggui orang-orang selesai memberikan ucapan selamat padanya. Aku ingin menjadi yang terakhir memberikan kata selamat untuknya. Sembari menunggu, aku menyelinap masuk ke dalam ruang pameran. Ada sekitar tiga puluh karya terpajang dalam ruangan. Belum semua karyanya aku lihat. Jadi tak ada salahnya kalau aku mengapresiasinya terlebih dahulu sebelum aku memberikan ucapan selamat kepada Artis nya. Setelah melewati lima bentangan lukisan pada kanvas, aku terhenti pada urutan ke enam yang lebih kecil ukurannya. Gambarnya lebih cenderung pada karikatur, berjudul “eksploitasi…”. Seorang lelaki memanggul karung berisi beberapa tulisan dan gambar keluarganya. Lelaki itu sedang menerima segepok uang dari orang-orang yang mengantri di depannya. Dan terkesan sedang mengobral barang yang berada dalam karung tersebut. Aku terhenyak, begitu menyadari bahwa itu mengandung nuansa kritik terhadap perlakuanku padanya beberapa waktu lalu. Istriku memang cerdas. Betapapun aku lelaki, aku juga sensitife. Aku merasa terintimidasi oleh istriku sendiri. aku kecewa. Aku mengurungkan niat untuk memeberikan surprise ucapan selamat dan setangkai bunga mawar yang sedari tadi kuselipkan di dalam jaket. Namun, seketika aku menjadi berubah pikiran ketika mengingat kejadian pagi tadi. Lagi pula itu masalah yang sudah berlalu beberapa minggu sebelum aku melihat lukisan itu. Ia sudah menebus dengan semua keadaan indah tadi pagi. Pikiranku kembali positif. Sebab lelaki memang cenderung berlogika dan saling menghubungkan. Aku melangkahkan kaki dengan mantap demi menghampiri istriku yang sudah duduk sendiri di luar ruangan. Aku sudah mengetahui keberadaannya. Aku menggunakan tekhnik kemunculan dari arah belakangnya, “Selamat dan sukses, Sayang …”. Aku mengagetkan dengan menyodorkan sebatang bunga. “Terimakasih hadiah ulang tahunnnya…”. Lanjutku sebelum ia sempat membalas ucapanku. “Terimakasih juga, Yang. Sudah mau datang ke acara kecil ini”. Sambutnya dengan senyum khas itu. “walaupun nggak diundang..” Sahutku dengan nada menggoda. Kita tertawa lepas bersama … Mengabaikan para pengunjung yang semakin menyesaki setiap sudut ruang pameran dan beberapa orang yang sudah akan beranjak pergi meninggalkan satu lukisan menuju pada arah lukisan berikutnya. Sudah kuduga, kehidupan terdiri dari beberapa ruang yang berbeda. Ruang keangkuhan, keegoisan, pemaafan dan beberapa ruang yang diciptakan oleh manusia sendiri. Dan kini kami sudah berada dalam satu ruang yang sama. Ruang yang entah akan kuberi nama apa. Sebab sebelum kami meninggalkan ruang pameran dia sempat berkata padaku, “Yang, aku telat datang bulan...”. Yogyakarta, 22 November 2011

Senin, 14 November 2011

Sajak Isyarat

Sajakku ini tak sedang berkisah tentang percintaan Arjuna dan Srikandi,
Tidak juga tentang berkobarnya peperangan brathayuda,
Agar lain kali saja aku bercerita tentang mereka.

Hanya Sepenggal isyarat pada Adam dan Hawa yang masih sering aku lupa,
“Wa Laa Taqrabaa Haadzihissyajarah ...”
“ Hanya sebatang pohon berbuah khuldi saja ternyata”, kataku pada mereka kali itu.
“Bukan”. Jawabmu menentang kesimpulanku.
“ini soal kepatuhan pada peraturan Tuhan”. Kau menjelaskannya dengan menggebu-gebu.
“kau memang benar”.

Dan betapa Ya Tuhan ...
Pepohonan - pepohonan itu kini sudah menjadi hutan belantara buah Khuldi.
Tumbuh menjalar pada setiap perbukitan yang subur,
Dan kurasa telah membungkus semak perdu keimananku pada-Mu.

Kusaksikan dimana-dimana,
Buah-buah itu telah menjelma menjadi apa saja.
Dapat kami beli dimana-mana,
Bahkan aku sendiri tak dapat membedakan wujud asalnya.

Yogyakarta, 28 Oktober 2011

Mari Mengelabuhi Waktu

Mari ikut aku mengelabuhi waktu,
Dengan nada dan nyanyian yang dapat kita buat seadanya,
Sebab aku yakin waktu tak sedang berputar
dan tak akan pernah kembali untuk menuntut perlakuan kita padanya,
karena waktu telah memilih untuk berjalan sembari menginjak-injak tengkuk kita semaunya.

Sudah terlalu lama busung dan otak kita tertekan dibuatnya,
Harus bangun pagi dan tidur sebelum malam beranjak tiba,
Sampai akhirnya kita lupa bahwa kita ini manusia,
Bukan mesin yang harus terus menerus untuk berkerja,
Rehatlah sejenak saja...

Tak ada yang harus dirisaukan tentang hari tua,
Lambat laun pasti ia akan datang juga.
Dan Aku katakan padamu sekali lagi,
“waktu tak pernah berputar pada porosnya,
tapi ia hanya sedang berjalan dalam lorong keangkuhannya

Yogyakarta, 28 Oktober 2011