SELAMAT DATANG PARA PECINTA SENI DAN SASTRA

hidupkan dunia Seni dan Sastra dalam jiwamu OX ! ?

Selasa, 15 Desember 2009

Dasar Tikus Keparat

Kau tau,
Kata ibu, negaraku Negara hukum
Itu juga dongeng keseharian di bangku sekolah dasarku dulu
Jadi kau jangan pura-pura tak paham tentang hukum negaraku
Karena itu sudah kesepakatan kita bersama

Setelah kau curi oleh-oleh ibu dari pasar
Kemudian kau bersembunyi di celah-celah lubang rumahku
Bukankah kau telah diberi jatah makan oleh Tuhan selain milikku
Kau ini makhluk Tuhan yang serakah

Dasar tikus keparat
Kau tau hukuman nyamuk yang hanya menghisap setetes darahku
Ia akan ku tepak dan mati

Awas saja jika esok aku yang mengurusi kasu-kasus kelicikanmu itu
Aku tak akan memberimu ampun untuk hidup tertawa di atas kelaparanku
Aku akan mencekik leher dan melemparmu kejalanan
Demi tegaknya hukum di negaraku
Agar kau tak mudah menyepelekan hukum-hukum dan janji yang membusa di mulut busukmu
Robitul Wafa, 13 Desember 2009

Nyanyian Jerami-jerami keriput

Cerita ini bukan hanya kudengar dalam lirik nyanyian-nyanyian jerami keriput itu
Tapi kulihat sendiri dengan mata kesadaran
Di antara rukuk-rukuk jerami penopang kehidupan
Di tengah kubangan-kubangan lumpur yang lunak dan menjijikkan

Para petani itu memanggang punggung telanjang dada
Memeras sisa-sisa keringat hari kemarin di bawah sengat sang surya
Menanam kaki di depan mulut lubang-lubang ular berbisa
Dan kita yang akhirnya menikmati hasilnya

Seharusnya mereka yang lebih kaya
Dibanding para cukong yang hanya duduk santai berselimut asap cerutu
Seharusnya mereka penunggang merci buatan Itali
Dan menikmati secangkir kopi dengan sang istri sambil menonton acara televise

Tapi mengapa sampai akhir usia
Cangkul berkarat itu masih bertengger di atas bahu
Dan hanya jerami-jerami keriput itu yang mampu menyanyikan bait-bait syair tentangnya
Robitul Wafa, 13 Desembar 2009

Rabu, 09 Desember 2009

Wajar


Aku adalah manusia biasa
Yang tercipta dengan segala keterbatasanku
Tak sama seperti malaikat
Yang memiliki seribu sayap

Wajar
Jika kalian selalu menipu aku
Aku juga tak akan tau semua gerak gerikmu di belakangku
Semua itu seakan urusan pribadimu
Dan bagimu aku tak perlu tau

Wajar
Jika sebenarnya aku hanya mengusik ketenanganmu
Karena bagimu aku hanya hama perusak

Wajar
Bila aku tak bisa memberimu kebahagiaan
Dan sebenarnya kalian lebih memilih yang lain
Sebab aku bukan manusia bertahta
Dan mereka lebih bergelimang dengan harta

Wajar dan sangat wajar
Jika akhirnya aku hanya bisa merasakan sakit hati
Karena aku sudah terlalu lancang merasuk dan terlibat dalam ceritamu (Jogja, 18, 11, ’09)

Tak Biasa

Semua seakan tampak biasa saja di mata mereka
Matahari terbit dari timur dan terbenam di ufuk barat
Burung-burung berkicauan manyambut datangnya pagi
Dan kelelawar mulai berterbangan ketika senja tiba

Itu kebiasaan alam mengikuti jalur takdir
Bagaimanapun kalian tak akan dapat merubahnya
Itu bagian dari sekenario Tuhan yang tak dapat dihapuskan

Tapi ada yang tak biasa dari kisah cintaku
Aku merangakainya dengan seorang wanita yang luar biasa
Berjiwa sederhana dan apa adanya
Meski terkadang bertingkah manja

Terkadang aku terlalu bermimpi jauh tentangnya
Menjadikannya wanita yang akan mengasuh anak-anakku mengenal Tuhan dan mempelajari ajaran agama
Aku juga tak tau tentang apa mimpinya denganku nanti

Aku selalu berharap ini kisah pertama dan terakhirku mengenal cinta
Aku selalu berangan-angan dialah wanita yang akan kubawa pulang dari kota ini
Jikapun tidak
Biarkan bumi yang akan membawaku menemui Tuhanku
Jogja ,19, 11, ‘09

Minggu, 29 November 2009

Malam Iedul Adha

Ini malam iedul adha
Tapi naku tak mendengar bahkan mengumandangkan suara takbir
Yang ku dengar hanya deru bising kendaraan
Aku berada di antara orang-oarang tak berduit
Aku berada di kumpulan orang-orang kumuh jalanan

Aku beragama Islam
Sama seperti ayah dan ibuku
Ayahku sedang menjalani ibadah haji di tanah suci
Tapi aku seakan gelandangan yang tak berpendidikan
Aku hanya berteman kepulan asap rokok dan bising kendaraan
Menunggu keajaiban Tuhan

Waktu kecil aku selalu berada di deretan depan
Mengumandangkan takbir dan tersenyum riang
Tapi kini senyumku hanya digantikan dengan kerut dahi kebingungan

Menurutmu ini salah siapa?
Aku pernah belajar ngaji bersama para santri
Tapi sekarang aku jauh dari kehidupan kiyai

Aku ini bodoh atau memang ngeyel ketika aku dinasihati
Obsesiku ingin hidup di dunia seni
Tapi ayahku menginginkanmu menjadi seorang kiyai seperti beliau

Coba tebak siapa yang tolol?
Ini malam iedul adha
Dan esok adalah hari raya
Seharusnya aku bergembira seperti halnya mereka
Tapi sekarang aku malah duduk di pinggiran jalan seperti gembel jalanan

Oh, maaf Tuhan
Aku selalu merindukan kasih sayang
Rasanya aku ingin cepat mati saja
Agar cepat aku bertemu dengan-Mu, yang katanya Maha Kasih Sayang
Agar aku tak hanya berkutat dengan puisi-puisiku yang menjijikkan
Rasanya kau sudah malu berteman dengan alam
Jogja (Gondomanan) 26, 11, ‘09

Selasa, 17 November 2009

DEWANTARA

Telah lama aku mengenal Dewantara
Photonya terpajang jelas di dinding kelas sekolah dasarku
Dengan senyum wibawa menuntunku mengenal dunia pendidikan Indonesia
Ajaran-ajaran dan buah pikirannyapun sudah banyak diperbincangkan di bangku-bangku para cendekiawan

Namun semua seolah berlalu mengikuti detak langkah jarum jam
Karya-karyanya hanya tinggal kertas-kertas lusuh yang tersusun rapi di perpustakaan
Hanya sedikit saja kata-kata beliau yang masih dibincangkan dalam ruang kelas pembelajaran
Itupun tak dapat membuat mereka paham

Ajaran-ajaran tentang seni budaya beliau yang mulai aku perdalam
Kini hanya tinggal teori yang tertulis rapi pada kertas-kertas kusam di perpustakaan
Mereka yang dipercaya dengan semua itu
Lebih memilih lembaran-lembaran uang kertas yang tak begitu berharga

Andai beliau kini masih ada di hadapanku
Aku akan mengajakna bediskusi tentang makna-makna budi pekerti yang terselubung dalam kata "Seni Tradisi"
Aku akan mengajaknya bertukar pikiran tentang Ilmu Budaya di pendapa kebesarannya
TAMANSISWA

Jika saja beliau masih hidup sampai hari ini
Mungkin beliau hanya bisa meneteskan air mata tanda sakit hati karena kekecewaanya
Menyaksikan hasil kerja kerasnya hayna dinilai sebagai funsi materialis
Membuktikan buah keringatnya diganti dengan keegoisan individualis yang tak bertanggung jawab

Tabahkan hatimu Dewantaraku
Meski mereka mengabaikan jerih payahmu
Walau mereka menghianati kepercayaanmu dengan lembaran-lembaran rupiah itu
Tapi aku akan tetap bangga dengan hadirmu di Indonesiaku

Jogja, 17 November '09

Senin, 26 Oktober 2009

Abdi Dalem

Di saat kehidupan membutuhkan kemewahan
Kala kekayaan dan kemegahan seolah menjadi Tuhan
Apa yang membuatmu terdiam kaku dalam kesederhanaan
Jalan apa yang kau cari sehingga kau memilih tetap duduk bersila di antara lutut para penguasa

Mungkin ketenangan dan ketentraman batinlah yang terus membuatmu tersenyum
Namun itulah yang ada dalam benakku pikirku

Yogyakarta Mei '09

Minggu, 11 Oktober 2009

AYAH

aku terlahir dari rahim istrimu
dan dia ibuku
aku makan dari hasil kerja kerasmu
dan itu keringatmu

tapi ketika ku telah mampu menjejakkan kakiku di atas batu terjal yang keras
itu bukan lagi telapak kakimu
san saat aku telah bisa menjilat dan merasakan pahit pil kehidupan
itu bukan pula lidahmu

kasih sayangmu sudah cukup mendidikku
semua nasihat-nasihatmu sudah cukup menggurui aku
lalu dengan semua itu jangan kau jadikan aku robot yang hanya bisa berjalan dengan remot kontrol
biarkan aku terbang seperti elang yang menentukan mangsa untuk kehidupannya

Sabtu, 26 September 2009

IBUNDA

Hari semakin menjelang sore. As'ad tertidur pulas di atas rerumputan belakang rumahnya yang tampak begitu sederhana, setelah ia kelelahan pulang dari kebunnya. Seorang perempuan paruh baya berbaju lusuh berjalan perlahan mendekatinya dan kemudian membangunkan As'ad dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Le bangun Le, ini sudah sore. " ucap ibu dengan logat jawanya yang kental.
"iya Bu, sebentar lagi tho . . ." sahut As'ad sambil mengucek-ngucek kedua matanya dengan tangan.
"ya cepet bangun tho Le. Cepet mandi. Terus nanti tolong anterin Ibu ke rumahnya Bu Nanik.
"iya Bu" jawab As'ad singkat sambil bermalas-malasan bangun dan menuju ke kamar mandi.
Setelah ia selesai mandi dan menunaikan ibadah shalat 'ashar, lalu ia mengantarkan ibunya dengan sepeda jawa satu-satunya milik keluarganya. Di dalam perjalanan sore itu pandangannya menyapu hamparan sawah yang ada di daerahnya tersebut. Dengan angina semilir di sore itu ternyata mampu membawa kabur angan dan pikirannya tentang nasib dirinya pada saat ini.
"seandainya saja ibu yang berada di belakangku saat ini adalah benar-benar seorang ibu yang telah melahirkan aku dari rahimnya, dan andaikata aku adalah benar-benar darah dagingnya." Batinnya dalam hati mengiris.
As'ad dalam keluarga ini bukanlah anak dari Ibu yang selama ini mengurusnya. Ibu yang selalu ia panggil ibu dan telah merawatnya sejak kecil sebenarnya adalah Budenya. Semenjak ia dilahirkan bukan lagi ibu kandungnya yang telah menyusui dan mendidiknya hingga dewasa seperti saat ini. Bagi orang tua kandungnya, As'ad bukan anak yang mereka harapkan. As'ad adalah anak dari hasil hubungan di luar nikah Bapak dan Ibunya di masa muda dulu. Dan kini As'ad harus menerima buah dari perbuatan mereka.
Kehidupan juga tak bisa disalahkan atas semua perbuatan yang terjadi di dalamnya. Selama As'ad masih berada dalam kandungan, beberapa kali ibu kandungnya mencoba untuk melakukan aborsi, tapi keinginannya tak terwujudkan. Dukun yang ia mintai tolong tidak sanggup melakukannya. Bahkan sebelum ia akhirnya dirawat oleh Budenya, ia sempat mengalami kejadian-kejadian yang kurang begitu manusiawi. Beberapa hari setelah kelahirannya ia hendak dikubur hidup-hidup oleh orang tuanya. Mungkin mereka menganggap kelahiran As'ad adalah petaka yang seharusnya tidak mereka alami.
Dan setelah kelahiran As'ad beberapa belas tahun yang lalu, As'ad langsung dipindah tangankan kepada Budenya--kakak perempuan ibunya. Namun dalam hal pembiayaan kehidupan As'ad masih ditanggung orang tua kandungnya. Karena semua itu sudah menjadi kesepakatan keluarga.
Semenjak kejadian itu, kemudian kedua orang tuanya memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halaman dan bekerja di luar daerah dengan alasan untuk mencarikan biaya hidup mereka dan As'ad. As'ad mendengar semua rahasia kisah masa kecilnya itu dari Bude yang sekarang ia anggap sebagai Ibunya sendiri akhir-akhir ini.
"Le ati-ati tho. . . ! ! !" seketika pikiran-pikirannya buyar, ketika ibunya mengagetkan As'ad yang sedang melamun dengan menyetir sepeda yang hampir menabrak seorang anak kecil yang sedang melintas sembarangan.
"iya-iya Bu. Lha wong anak itu sembarangan nyebrang"
"kamu nglamunin apa tho Le ???"
"ndak, saya itu ndak nglamun . . ."
"halah. . . mesti ngalmunin pacarnya ya ? "
"wah, Ibu ini ada-ada saja. Lha wong saya ini belum punya pacar kok"
"iya Le, untuk apa pacaran? Belajarnya saja belum bener. iya tho ???" ibunya meledek sambil mencubit tangan As'ad dan kemudian mereka tertawa barsama-sama. Sebelumnya akhirnya mereka sampai ke rumah yang mereka tuju.
Malam ini As'ad terduduk lesu di sudut tempat tidurnya. Ia masih memikirkan tentang kedua orang tua kandungnya. Mengapa harus dirinya yang menerima semua ini? Mengapa harus dirinya yang menerima atas perbuatan orang tuanya? Meskipun sampai saat ini orang tuanya masih sudi untuk membiayai kehidupan sampai pendidikannya, namun ia masih belum dapat mengerti dan menerima semua keadaan ini. Terkadang ia merasa iri ketika melihat seorang anak masih dapat merasakan kasih sayang kedua orang tuanya. Sebenarnya ia juga masih merasakan sakit hati dengan semua yang dilakukan kedua orang tuanya di masa kecilnya dulu, seperti yang ia dengar dari cerita-cerita keluarga dekatnya.
"kita harus selalu menghormati dan berbakti kepada kedua orang tua kita. Karena mereka telah berani mengorbankan nyawa untuk kehidupan kita. Mereka telah mengandung kita selama kurang lebih sembilan bulan. Kemudian mereka menyusui dan menjaga kita ketika kita masih kecil. Dan sampai pada saat ini pun mereka tetap berjuang untuk masa depan kita" begitulah Bapak guru agama Islam As'ad di sekolah menjelaskan panjang lebar tentang kewajiban berbakti kepada orang tua.
"lalu bagaimana dengan orang tua kandungku yang seperti itu? Apakah aku masih harus berbakti kepada orang tua yang tak jelas kebenarannya? Mereka telah melakukan perbuatan yang tak sewajarnya. Melakukan tindakn asusila yang jelas-jelas dilarang dalam ajran agama manapun. Setelah itu mereka juga pernah berbuat hal yang tak manusiawi kepadaku. Sebagai anak kandungnya" gumamnya dalam hati.
"ayah ibu kita adalah tempat bernaung segala jiwa kita. Siapapun mereka, apapun yang telah mereka perbuat kepada kita janganlah kita mencela apalagi menghina. Karena ridha mereka adalah ridha Tuhan pula. Itulah yang harus kau ingat". Suatu ketika ia mendapat jawaban atas kebingungan sikapnya selama ini terhadap kedua orang tua kandung yang telah ia anggap tak pernah berharga dalam hidupnya.
Setelah As'ad mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengusiknya untuk bagaimana seharusnya menyikapi kepada kedua orang tua kandungnya, akhirnya ia dapat menentukkan sikap dihari-hari kemudian. As'ad semakin dapat meyakinkan hatinya untuk tidak lagi menyalahkan bahkan mencaci semua perbuatan kedua orang tuanya di masa lalu.
Malam semakin larut. As'ad masih belum kunjung dapat menutup matanya. Lalu ia menyandarkan tubuhnya kepada tembok yang menempel dengan tempat tidurnya. Ia dekap bantal yang sedari tadi hanya dipangkunya. Tak lama kemudian As'ad meneteskan air mata. Ia sadar bahwa selama ini sikap ia kepada orang tua kandungnya tak dapat dibenarkan. Alias salah. Walaupun selama ini ia beranggapan bahwa perilaku orang tua kandungnya cukup menyakitkan bagi dirinya, namun ia berkeyakinan bahwa mendurhakai kedua orang tua adalah perbuatan dosa yang tak dapat dimaklumi.
"Bu, lebaran nanti kalau ibu pulang kesini aku akan memohon maaf kepada Ibu dan Bapak. Aku akan mencoba memahami dan menerima semua yang terjadi dalam kehidupan ini" gumamnya lirih sambil menyeka air mata penyesalan yang terus mengalir membasahi kedua pipinya.
Di luar suasana hujan lebat. Petir tak henti-hentinya menyambar-nyambar. Jarum jam dinding kamar As'ad terus berjalan hingga menunjukkan pukul 11: 45 malam. As'ad masih saja diam bersandar di dinding tak bergerak dari tempatnya. Kakinya seakan-akan kaku untuk beranjak.
Kemudian tak lama setelah itu terdengar suara orang mengetuk pintu sambil berteriak tergesa-gesa. Lalu As'ad mendengar suara langkah ibu angkatnya menuju kerah pintu depan dan terdengarlah pintu depan terbuka. Setelah itu ia mendengar ada percakapan di antara mereka. Tak lama kemudian ibu angkatnyapun memanggil As'ad dengan setengah berteriak.
"ada apa Bu ? ? . . ." As'ad langsung mendatangi ke arah ibunya memanggil.
"sini Le, duduk dulu " jawab ibunya.
Kemudian mereka terdiam sejenak untuk menenangkan suasana.
"ada apa tho Bu ? " As'ad tak sabar dan membuka percakapan.
"begini lho Le " ibunya terdiam sejenak menghela napas. "Pak Anwar tadi dapat telfon dari Kalimantan sana" lanjut ibunya dan berhenti kembali.
"ya terus ada apa tho Bu ? kalo ngomong itu ya nggak usah berhenti-berhenti begitu ! " As'ad menyela karena tak sabar ingin tahu.
"Ibumu meninggal dunia karena kecelakaan, tadi siang" ibunya meneruskan kalimat terakhirnya lalu mendekati As'ad sambil mendekap dan mengelusnya. Ibunya tau, itu merupakan cobaan terberat bagi As'ad.
Setelah mendengar berita yang menyedihkan itu, As'ad langsung berpamit undur diri untuk ke kamar. Ia langsung merebahkan tubuhnya ke atas kasur tidurnya sembari menghela napas panjang.
"maafkan semua kesalahan As'ad Bu". Lirih ia bergumam. Dan tak terasa bantal yang ia pakai basah dengan air mata kesedihannya.

Ibu,
Meskipun aku tak pernah menghisap air susumu
Walaupun aku tak pernah merasakan belaian kasih sayangmu secara nyata
Biarpun aku tak sempat mendengar kata maaf untukku dari bibir sucimu
Namun kau adalah Ibu yang telah mengizinkan aku singgah dalam ruang rahimmu

Aku takkan pernah menyesali karena aku darah dagingmu
Aku takkan lagi mencela diriku karena aku adalah bagian dari jasadmu
Aku akan tetap merasa bangga bercerita pada dunia jika kelak aku menjadi penguasa
Aku akan berusaha untuk membuatmu tersenyum bangga atas kemenanganku melawan dunia

Semoga kau kan terus tersenyum di sisi-Nya Ibu
Tuhan kan memberikan yang terbaik untukmu di sana

As'ad pun larut dalam buaian dekapan Dewi mimpi dengan terbalut duka di hati dan perasaannya. Ia berharap kan diberikan satu kesempatan lagi untuk dapat memohon maaf kepada Ibunya. Namun ia harus merelakan harapan yang hanya akan kusut terlilit mimpi malam itu.

*****(21 Mud@)****

Kisah ini saya persembahkan untuk teman dekat saya yang telah menceritakan kisahnya kepada saya.
Semoga kalian yang membaca dapat memetik hikmahnya.

Senin, 24 Agustus 2009

BIDADARI RAMADHAN (SANTRIWATI)

Wajah ayu cucu Hawa berkelebat mengusik ruang pikirku

Dengan kerudung hitam seakan melantunkan dendang kedamaian dibulan yang suci ini

Sosok santriwati masih murni melekat pada paras cantiknya

Batinku guncang dibuatnya

Dengan mendekap segepok lembaran-lembaran kertas ajaran ulama salafi

Dan kini aku masih tertegun memikirkannya

Bukan cinta yang sanggup aku tawarkan dan singgah dalam benak batinku

Kekaguman atas keelokan pancaran suci yang menjadikan aku terpaku

Detak jantungnya menebar tasbih atas kesucian Tuhan

Lantunan tahmid, tahlil dan takbir menjadikan bibir mungilnya memancarkan cahaya yang mungkin sulit kau temui sebelumnya

KRAPYAK, 3 Ramadhan 1430 H

ALUNAN NADA KEBIMBANGAN

Pernahkah kau mendengar alunan-alunan nada kebimbangan yang sedang ku rasa

Pernahkah kau meraba lekuk-lekuk penderitaan yang terukir pada batu yang diam tak meronta

Sudahkah kau melihat air mata yang menetes pada pipi yang terhina

Aku merasakannya

Aku dengar alunan-aluanan itu

Telah kuraba lekuk-lekuk yang terukir di sana

Dan sudah kulihat air mata yang membasahi kedua pipinya

Selalu kucoba tuk menutup telinga kala jeritan itu mencoba menembus dinding telingaku

Terus kuhapus dan ku usap ukir-ukiran dan air mata itu

Entah mengapa, semua tak kunjung sirna

Mungkin terlalu dalam dukaku

JOGJA, 10 Agustus 2009

Kamis, 13 Agustus 2009

RESAH DI PEREMPATAN MALIOBORO

Kusaksikan pengendara becak terguyur keringat penderitaan

Ibu tua menggendong kain-kain lusuh menyebrangi jalan

Bapak tua menenteng tas kusam yang terbungkus debu jalanan

Ini kota besar

Jogjakarta

Tempat orang-orang sukses dan orang-orang kumuh mengadu nasib

Bukan hanya aku yang menjadi saksi

Tapi gedung-gedung tinggi tua juga melihatnya

Coba kau tengok sendiri sekarang

Di perempatan besar

Lahan para seniman jalanan menyanyikan lagu yang memang terdengar sumbang

Menjajakan kreatifitas yang kau nilai dengan uang-uang recehan

Pasar bagi para penjual rokok eceran yang ku hisap asapnya

Aku memang tak ingin seperti mereka

Namun, aku masih akan melihatnya dengan "KEDUA MATA"


MALIOBORO 12 Agustus '09

Pekik Suara "MERDEKA"

Merdeka . . .

Bisik rembulan tatkala malam datang

Senyumnya seakan bangga kepad para pejuang

Tangisnya seolah mencium bau amis darah pahlawan yang sia-sia terbuang

Merdeka . . .

Pekik mentari dikala pagi menyambut

Sinarnya bak lentera penerang di tengah gelapnya kabut

Ia seakan ikut merasakan riangnya hati di saat menang perang

Merdeka . . .

Teriak riang gelombang di laut lepas

Degur ombaknya menggambarkan semangat para pahlawan yang kini tak lagi dapat bernafas

Gelombang yang tak henti-hentinya menari di atasnya, turut menyertai kegembiraan kibaran merah putih

Mereka semua menjadi saksi bisu dentuman meriam yang pernah menggelegar di atas bumi pertiwi ini

Mata mereka tak luput menyaksikan barisan kapal perang yang tak lagi mengenal dosa

64 tahun sudah Indonesiaku melewati masa pedihnya

Ribuan jiwa telah menjadi penebusnya

Darah tak ada lagi harganya

Hanya untuk menyerukan satu kata

"MERDEKA . . . ! ! ! "

Merdeka bangsaku . . .

Hidup negeriku . . .

Pekik hati kecilku


Djogdja Agustus

Minggu, 09 Agustus 2009

SELEMBAR CINTA DALAM KABUT DUKA

Setelah kurang lebih satu tahun kota ini dilanda bencana alam, kini menyisakan beberapa duka di hati para keluarga korban yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh keluarganya. Entah apa kehendak Tuhan di balik semua ini. Namun Jawaban dari Itu semua ada di dalam benak masing-masing mereka yang menjadi korban keganasan alam tersebut.

“Nak, sabar ya nak …” tetangganya mencoba menasihati Anwar yang saat itu ditinggal oleh kedua orang tuanya untuk selama-selamanya. Orang tuanya meninggal karena tertimpa bangunan saat gempa bumi terjadi setahun yang lalu.

“mungkin Tuhan memberikan jalan terbaik lewat semua ini”. Tetangganya melanjutkan nasihatnya. Namun Seketika itu tersirat dalam benaknya sebuah pertanyaan yang cukup membuatnya gila,

“Tuhan mana yang mereka maksud? Adakah Tuhan yang tega membuat hambanya menderita begitu saja tanpa memberi pertolongan di kemudian hari?”.

“kak. . .,” tiba-tiba lamunannya buyar. ketika adiknya, Agus yang baru pulang sekolah memanggilnya. Dialah satu-satunya keluarga sekaligus harapan Anwar yang tersisa. Kini ia sedang duduk di bangku SMP.

“ada apa? Bagaimana sekolahmu hari ini?” jawabnya sambil menoleh ke arah adiknya.

“begini kak. Tadi di sekolah ada pengumuman, besok anak-anak yang belum membayar bulanan sekolah supaya melunasi. Kalau nggak, ya nggak boleh ikut ujian test. Termasuk aku”. Mendengar ucapan adiknya, Anwar mendesah meghela napas panjang.

“iya, besok kakak usahakan. Sekarang kamu makan dulu gih sana. . .!!”. semenjak saat gempa terjadi, dialah yang menjadi tulang punggung keluarga, termasuk membiayai adik yang satu-satunya dan masih bersekolah. Karena itu pula ia terpaksa berhenti dari kuliah dan memilih bekerja -- walaupun hasilnya tidak begitu mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua.

Sebenarnya orang tua mereka berdua sebelum meninggal dunia adalah seorang pegawai negeri sipil, namun entah apa sebabnya mereka tidak mendapat tunjangan biaya santunan dari pemerintah setempat seperti halnya yang lain.

“kemana tanggung jawab mereka yang menjadi penguasa Negara ini, setelah mereka membuat undang-undang tentang hak pendidikan bagi setiap rakyatnya? Kemana janji-janji palsu yang keluar dari mulut busuk mereka?” gumamnya dalam hati, ketika ia sedang beristirahat setelah bekerja. Sambil menyeka keringat yang mulai membasahi wajahnya yang tampak legam tersengat sinar matahari.

Maklum, Kini ia harus bekerja walau menjadi kuli yang tak menjamin hidupnya. Namun apa boleh buat. Kalu tidak begitu, dia pasti tidak bisa membayar biaya sekolah adiknya yang semakin lama semakin membuat kantongnya kekeringan.

“Mas, bagaimana kabar Agus?” Tanya Oktavia suatu ketika di sela-sela waktu istirahat kerja kepada Anwar. Oktavia adalah anak satu-satunya mandor tempat Anwar bekerja. Kini dia masih duduk di bangku kuliah smester tiga. Namun, meski Oktavia anak seorang yang berekonomi level menengah ke atas, ia selalu menunjukkan sikap santun dan selalu memberi perhatian lebih kepada siapapun, terlebih Anwar. Entah karena factor apa yang membuat Oktavia member perhatian lebih kepada Anwar, mungkin factor rasa yang maklum timbul antara dua insan yang berlainan jenis. Yaitu CINTA.

“Ehm, kabarnya baik-baik saja”. Jawabnya agak grogi.

“terus bagaimana dengan sekolahnya?”. Tanya Oktavia kembali.

“itulah yang membuat aku bingung”.

“bingung bagaimana? Apa masalah biaya?”. Anwar menganggukkan kepala sambil mengutarakan keluhan yang selama ini ia pendam, tentang biaya pendidikan yang semakin tidak tau dengan kondisi ekonomi rakyat miskin.

Setelah mendengar keluhan Anwar, kemudian Oktavia merogoh kantongnya dan memberikan beberapa lembar uang kertas kepadanya. Namun dengan halus Anwar menolaknya,

“tidak usah, biar untuk tabungan kamu saja. Lagian saya kan tidak pantas menerima kayak beginian dari kamu. Saya kuli, sedangkan kamu anak bos saya”. Lalu Oktaviapun memasukkan uangnya kembali ke dalam kantong sambil merasa sedikit kecewa. tapi ia masih sedikit mengerti dengan sifat Anwar yang seperti itu.

Namun sebelum Anwar beranjak pergi untuk bekerja kembali, Oktavia memanggilnya kembali,

“Mas,”. Anwar menoleh.

“tetaplah tabah dengan semua ini. yakinlah, semua adalah jalan yang terbaik bagi kehidupan yang dipilihkan oleh Tuhan untuk kita sebagai makhluk-Nya”.

“ya, semoga saja dugaan Mbak benar”. Jawabnya sambil tersenyum beku kepada Oktavia, lalu dibalas dengan senyum tulus yang tersungging dari bibir manis Oktavia pula.

Suatu malam, tak disengaja ketika Anwar dan Oktavia sedang duduk-duduk menikmati kopi di warung kopi dekat rumahnya, mereka mendengar suara-suara tukang becak yang sedang menumpang istirahat di situ.

“bagaimana janji-janji si Parjo yang sekarang sudah duduk enak di pemerintahan itu? Katanya dia akan lebih memperhatikan pendidikan anak-anak bangsa. Tapi sekarang mana buktinya?”.

“iya, masak sebentar-sebentar si Jol anak saya itu sudah minta duit, yang untuk bayar itulah, inilah. Yang buku lah. Kan saya yang pekerjaannya Cuma dagang kayak beginian ya ngerasa bingung juga”. Ibu tukang kopi itu ikut meberi komentar tukang becak tadi.

Namun Anwar kemudian tak memperdulikan perkataan-perkataan tukang becak tadi. Ia lebih memilih menikmati kopi yang sedari tadi sudah ada di depannya sambil memikirkan sesuatu.

“memang benar apa yang selama ini aku rasa dan pikirkan. sama seperti apa yang mereka rasa dan pikirkan”. Ucapnya membuka pembicaraan dengan Oktavia.

“benar apanya? Mereka siapa?”. Oktavia bingung menanggapi perkataan Anwar yang tiba-tiba.

“mereka, para tukang becak itu. Bukankah dari tadi kamu mendengarnya juga?”

. “Iya,Tapi mereka yang dikatakan oleh tukang becak itu tidak bisa disalahkan begitu saja dong”. Keduanya mulai berdialog, seolah-olah kata-kata mereka yang nantinya akan menjadi referensi pemikiran para pejabat dalam melangsungkan program pemerintahannya.

“ya, memang mereka tidak bisa disalahkan begitu saja. mungkin karena system pendidikan yang ada yang sudah mencetak mereka seperti itu. System pendidikan yang membentuk mereka terlalu mengandalkan hasil, bukan proses. Dan system itu yang harus dirubah”.

“ya, ya, berarti bukan mereka saja yang harus kita salahkan, tapi keduanya yang harus kita salahkan. Yaitu system yang mendidik mereka dan mereka sendiri yang tidak pernah paham dengan norma-norma yang pernah mereka kaji sewaktu mereka masih mengenyam bangku pendidikan”. Oktavia menanggapi dengan semangat. “dan aku besok akan coba bantu membawa pemikiran dan cita-cita kamu itu ke khalayak ramai”.

“tapi bagaimana caranya? sekarang bukan moment yang pas untuk bahas yang beginian. Hari pendidikan masih lama”. Anwar bertanya kebingungan.

“perubahan bagiku tidak harus menunggu moment yang tepat. Dimana kita ada waktu, di situ kita bisa berbuat untuk perubahan yang positif. System pendidikan seperti kata kamu tadi, memang sudah seharusnya dirubah”. Oktavia seolah bulat dengan tekadnya mengusung perubahan system pendidikan.

“apa kamu yakin?”. Anwar sedikit meragukan.

“ya nanti aku coba usahakan”. Oktavia meyakinkan.

Kemudian mereka berdua saling diam. Keduanya asyik dengan pikiran mereka masing-masing. Dalam lamunannya, Anwar mengingat sesuatu yang pernah ia baca sewaktu ia masih duduk di bangku sekolah beberapa tahun yang lalu. Ia pernah membaca bahwa orang Indonesia sendiri pernah mencetuskan konsep pendidikan yang memungkin dapat menciptakan manusia yang berkualitas dalam pendidikan. Yaitu Bapak Pendidikan nasional, Ki. Hadjar Dewantara, Namun dalam prakteknya, sekarang konsep pendidikan tersebut malah dipakai oleh orang-orang Singapore. Yang sampai saat ini menjadi Negara itu telah menjadi Negara yang lebih hebat dibanding Negara Indonesia. Padahal seharusnya konsep pendidikan yang telah dicetuskan oleh beliau itu tidak hanya menjadi konsep saja di Indonesia, tetapi menjadi system yang membangun dalam pendidikan.

“beginilah jadinya kalau suatu Negara tidak menghargai ilmuwannya sendiri. Dia tidak akan maju dan berkembang. Apalagi ini dalam hal pendidikan. Padahal pendidikan adalah hal yang paling vital yang harus terutama dipikirkan oleh suatu bangsa. Bahkan kemajuan suatu bangsa bergantung pada pendidikannya. Tapi bagaimana mereka yang duduk di atas sana bisa memikirkan dan peduli dengan semua ini? Sedangkan dilihat dari anggaran belanja yang mereka keluarkan saja mereka lebih mementingkan hal yang tidak penting dibandingkan pendidikan”. Gumamnya sendiri. Sebelum akhirnya mereka meninggalkan kedai kopi yang semakin ramai pembeli.

Anwar saat ini memang bukan orang yang masih aktif terlibat dalam dunia pendidikan. Namun meski begitu, ia salah satu orang dari mereka yang masih peduli dengan masa depan bangsanya. Termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab sebelum ia berhenti dari dunia pendidikan akibat bencana alam, ia sempat mengenyam pendidikan kuliah dan tergolong mahasiswa yang aktif dan kritis. Jadi maklum jika saat ini ia kritis dan masih peduli dengan masa depan Negara tempat anak cucunya mencari sesuap nasi kelak.

Namun Cinta, keindahan dan kebahagiaan bukanlah hanya milik mereka yang bergelimang harta saja. Tapi semua itu berhak dimiliki oleh siapapun. Termasuk Si Anwar.

Malam minggu seusai pulang kerja, tiba-tiba Oktavia dengan mobil hitamnya sudah ada di depan rumah sederhana tempat Anwar dan adiknya tinggal.

Tin tin . . .

suara klakson mobilnya terdengar dari dalam rumah Anwar. Buru-buru adik Anwar menyingkap kain yang menutupi jendela rumah mereka.

“siapa Dik?” Tanya Anwar.

“itu seperti mobil kak Okta”. Jawab adiknya.

Tak lama kemudian Nampak Oktavia turun dari mobilnya. Anwar langsung membuka pintu rumahnya.

“tumben main kesini?” Tanya Anwar basa-basi.

“ya sekali-kali nggak apa kan? Sambil mau ngajak Agus jalan-jalan”. Jawab Oktavia sambil menjulurkan tangan, mengajak berjabat tangan dengan Agus.

Setelah mereka bersiap-siap, lalu mereka meluncur menikmati suasana kota dimalam yang cerah, sebelum akhirnya menuju ke pusat perbelanjaan kota. Sesampainya di sana, Oktavia menyuruh Agus menikmati permainan-permainan atau sekedar jalan-jalan. sedang mereka berdua duduk di antara orang-orang yang duduk sambil menikamati minuman.

Setelah mereka berdua saling diam, akhirnya Anwar membuka pembicaraan.

“bagaimana kabar keluarga?”.

“sehat”. Jawab Oktavia singkat.

Mereka saling bungkam kembali. Tapi tiba-tiba mereka berdua saling bertabrakan kata ketika hendak membuka pembicaraan kembali. Lalu Mereka saling mempersilahkan mengatakan apa yang akan mereka katakana tadi. Akhirnya Oktavia mengalah dan mulai berbicara.

“Mas, kamu pernah tau apa yang namanya cinta?”. Oktavia bertanya dengan sedikit tersipu malu.

“maksud kamu cinta yang bagaimana?”. Jawab Anwar sok lugu.

“ya . . ., itu ehm”, jawab Oktavia ragu dan serba salah tingkah.

“memang kamu selama ini belum pernah merasakan indahnya cinta, yang kebanyakan orang katakan bisa membuat kita selalu tersenyum ketika kita selalu bersamanya?”. Lanjut Oktavia sedikit menjelaskan.

“kalau yang begituan setiap orang pasti pernah mengalaminya”. Komentar anwar singkat dan sok tau.

“kalau kamu bagaimana? Apa kamu saat ini sedang merasakan yang namanya cinta itu kepada seseorang?”. Oktavia terus bertanya memancing Anwar untuk mengatakan sesuatu yang ia harapkan. “dan apakah orang itu ada di sekitar kamu?”.lanjut Oktavia.

“ehm . . Iya, ada”. Anwar sedikit gugup “dan saya rasa itu cukup memalukan bila saya harus berterus terang”.

“terus apakah orang itu saat ini ada di sini? Ehm . . . dan apakah orang itu aku?”. Oktavia memaksa memberanikan diri. Kemudian ia tertunduk malu disertai senyum tulus.

“iya”. Anwar menjawabnya dengan yakin tanpa sedikitpun ragu yang terbersit dalam batinnya.

“dan sebenarnya aku malu untuk mengatakannya sejak awal. Karena aku masih memandang status social antara kita yang terkadang menjadi penghalang”. Anwar meneruskan pembicaraan.

Kini mereka berdua membisu dengan haru biru kebahagiaan yang meyelimuti jiwa-jiwa mereka yang telah lama larut dalam tanda Tanya keraguan dan kebimbangan. Saat ini semua pertanyaan tentang cinta yang membelenggu batin mereka berdua telah terjawab. Sekarang cinta telah merajut kebahagiaan baru dalam hidup mereka.

Akhir semester pertama. bertepatan menjelang tahun baru, sekolah Agus akan mengadakan study tour. Tentu Anwar repot memikirkan biaya adiknya untuk mengikuti kegiatan wajib dari sekolah itu. Setelah mencari pinjaman ke sana kemari, tak juga ia mendapatkan jumlah yang telah ditetapkan oleh sekolah untuk membayar biaya study tour.

Setelah pikir panjang, akhirnya ia memtuskan untuk meminjam kepada mandor tempat kerjanya. Orang tua Oktavia.malam itu juga.

Takdir tidak dapat diubah, ajal tak dapat lagi ditawar dan dibantah. Dan keadilan di dunia tak mesti berpihak kepada kebenaran.

Ting tong . . .

Anwar menekan tombol bel rumah mandornya. Tapi setelah lama ia menekan bel berkali-kali, tak ada juga jawaban dari dalam rumah. Tiba-tiba ia merasa curiga kalau-kalau telah terjadi apa-apa di dalam. Tanpa berpikir panjang, akhirnya ia mencoba mendobrak pintu hingga terbuka.

Jantungnya berhenti berdetak, kakinya gemetar seakan tak sanggup lagi menopang tubuhnya. dan matanya meneteskan air mata tanpa ia sadari. Dugaannya benar. Rumah mandornya telah disatroni oleh para penjahat. Seluruh keluarga mandornya mati terbunuh dengan tak wajar. Pandangannya terpaku pada sosok tubuh bergelimang darah di depannya. Sosok yang ia kenal dan ia cintai selama ini. Sosok yang membuat hidupnya kian berarti. Diraihnya tubuh itu, ia peluk erat.

“Okta, mengapa ini terjadi? Siapa yang melakukan semua ini?”. Anwar sedikit berteriak panik.

“Anwar, maafkan segala kesalahanku. aku belum sempat mewujudkan cita-citamu”. Anwar masih diam mematung tak menghiraukan kata-kata Oktavia lagi, karena pikirannya sedang carut marut. Kemudian Oktavia meneruskan ucapannya sambil sedikit tersendat,

“mungkin Tuhan tak mengijinkan kita untuk bersama di dunia . Tuhan tak izinkan aku menyertai hidupmu. Tapi yakinlah cintaku, cinta kita yang akan menyatukan kita di kemudian hari dan akan mewujudkan impian kita bersama”. Oktavia menghembuskan nafas terakhir dalam pelukannya.

“Okta . . . bangun . . .” teriak Anwar sambil memeluk erat tubuh yang tak lagi bernyawa itu hingga ia jatuh pingsan karena tak kuat menahan duka yang sangat mendalam menusuk ulu hatinya.

“angkat tangan !!!”. teriak salah seorang polisi yang baru datang dan berdiri tepat di belakangnya, ketika ia sudah mulai siuman.

“Anda kami tangkap”. Polisi itu mengeluarkan borgol dan menjeratkan di kedua tangan Anwar

“bukan saya pelakunya pak”. Anwar berusaha membela diri.

“anda jelaskan di kantor saja nanti”. Polisi itu memberi instruksi.

Dengan tangan terbogol, Anwar digelandang ke kantor polisi tanpa bisa memberi keterangan. Di sana ia langsung dimasukkan ke dalam jeruji besi. Hari berganti hari, ia menjalani proses hukum. Namun dengan dalih tidak ada tersangka lain yang polisi temukan dalam insiden ini. Akhirnya ia divonis penjara.

Tak selang lama beberapa hari ia berada dalam penjara. Duka dan luka yang menimpa dirinya belum hilang, bertambah dengan duka baru yang harus ia terima dengan lapang dada. ia mendapatkan surat dari kerabat dekatnya bahwa adiknya telah meninggal dunia karena bunuh diri. Mereka juga memberikan surat yang ditulis oleh adiknya sebelum melakukan tindakan nekad itu. mereka menemukannya di sebelah tempat adiknya terbujur kaku.

Dalam suratnya tertulis ucapan terimakasih kepada kakanya . ia lakukan semua ini karena ia merasa malu kepada teman-temannya tidak dapat mengikuti study tour dan ia merasa tak ada masa depan lagi untuk hidupnya.

Setelah membaca surat, kemudian ia melipatnya sambil menyeka air mata yang sudah membasahi pipinya. Di alam pikirnya terbayang senyum bangga adik kesayangannya ketika adiknya mendapat juara di sekolah waktu itu. Ia memeluknya dengan harapan kelak adiknyalah yang membawa negeri ini menjadi negeri yang besar. Namun mimpi tinggallah mimpi, ia relakan mimpi itu pergi bersama indah pelangi.

Hiruk pikuk meriahnya tahun baru terdengar hingga ke seluruh sudut kota. Mereka, para gembel pun ikut menari merasakan kegembiraan pesta pergantian tahun. Namun saat ini Anwar hanya mampu meneteskan air mata duka yang tak kunjung kering. Ia terpekur dalam bui yang sepi penuh kehampaan. Yang menari dalam benaknya hanyalah bayangan-bayangan senyum semu yang tersungging dari bibir orang-orang yang ia sayangi . Adiknya tercinta dan Oktavia yang selama ini membuat hidupnya begitu berharga. Tapi sayang, kini mereka semua berada di alam yang berbeda dengan begitu banyak meninggalkan kenangan manis dalam kehidupan Anwar.

Meski semua itu telah berlalu, cita-cita Anwar bagi masa depan bangsanya tidak begitu saja lusuh diterpa angin duka yang bertubi-tubi datang menghampirinya. Ia masih berharap kan selalu ada system pendidikan yang mencetak generasi-generasi bangsa yang selama ini ia cita-citakan. yang akan membawa perubahan bagi negerinya yang kian terpuruk. Desir angin dan suara-suara malam ia biarkan membawa semua mimpi dan cita-citanya berjalan mengikuti masa yang terus bergulir mengikuti perjalanan waktu.

###### (21 Mud@) #####

“ Nestapa Hati Yang Luka”

Tampak bayang yang selalu menari

Mengikuti alunan bunyi mercusuar

Terkadang bimbang mengartikan suara yang tak berarah

Sunyi menghampirinya kembali

Meski di ambang kegelapan ia terus meraba

Mencari gemercik suara air yang membuatnya terus merasa dahaga

Di tengah teriknya panas ia terus membelalakkan mata

Mengendus-endus letak bau sepotong keju yang masih berasap

Yang terus membuatnya lapar

Deritanya tak kunjung usai

Tangis hatinya kian menjadi-jadi

Seakan tak akan pernah meraba eloknya bentuk surga

Dan tak pernah menjilat lezat manis rasanya jua

Oh . . .

Hati nestapa, inikah deritamu . . . ?

Ataukah ini yang mereka sebut-sebut balasan sebuah karma

Yang membuatmu terus merana.

### (21 Muda@) ###

Jiwa Yang Dahaga

Pagi kau lantunkan kalam-Nya

Malam kau selalu bersimpuh di hadap-Nya

Kau serahkan jiwa dan ragamu hanya untuk-Nya

Namun, kau masih merasa tak ada waktu untuk-Nya

Mentari terbit, hatimu berteriak

"oh Tuhan, mengapa kau ciptakan neraka??"

Ketika rembulan tersenyum, suara paraumu berkata

"terimakasih Tuhan, kau telah ciptakan surga untuku"

Pendapa Tamansiswa '08

Rabu, 05 Agustus 2009

GAMELAN

Instrumen kuno itu masih membahana di hari-hari mudaku

Begitu indah mengalun mengisi kesunyian

Nyaring terdengar memapah angan dalam kelam remaja yang tak tau hakikat kebudayaan

Meski kau anggap itu musik yang tak layak lagi didengar

Walau kau pikir itu adalah nada yang tak selaras dengan perkembangan zaman

Namun bagiku Gamelan adalah instrumen kehidupan yang nyata dan mengenalkanku pada budayaku yang kaya raya

Aku tak kan membiarkanmu mengabaikannya

Lalu kau akan kehilangan jati diri bangsamu

Dengarkan dan lestarikan alunan tua yang merduitu dalan hati dan jiwamu


Jogja 5 Agustus 2009



Apa aku berjalan terlalu jauh


Apa aku berjalan terlalu jauh?

Hingga aku tak dapat lagi bersimpuh

Tawa mereka yang tulus

Kuanggap hanya rumus

Rumus yang akan membuka nyata

Obsesi menjadi yang paling benar

Nafas yang membuat orang menjadi memar

Kegelapan ini sangat menakutkan

Kengerian ini terukir amat dalam

Dalam . . . Dalam . . . Dalam . . .

Hingga aku tak dapat lagi berdiri

Hari ini yang mungkin aku lalui

Belum tentu mereka ingat kembali

Kini aku sendiri membentangkan duri

Duri yang akan melawan seluruh dengki

Mulai kini aku belajar untuk melawan kegelapan

Dengan membawa sinar kedamaian

By: Rani Sweat ( 08564384884)

Senin, 03 Agustus 2009

SELEMBAR DAUN SURGA DAN JARUM-JARUM TAJAM

Dingin Angin malam itu membangunkan aku dari tidur lelapku

Mengingatkanku pada seribu penderitaan yang kini masih kau alami

Kau nyaris terkapar tewas di atas tikar kebinasaan

Marijuana dan jarum-jarum suntik tajam telah merenggut kebahagiaanmu

Kau biarkan mereka merasuki sel-sel darah dan menggerogoti denyut nadi kehidupan

Kau biarkan mereka membunuh saraf-saraf dan fungsi otak dalam batok kepalamu

Kau relakan mereka menikammu dengan kebiadaban

Dan kau akan dilepaskannya di atas gurun penderitaan

Apa kau telah melupakan ayat-ayat Tuhan tentangkekejian neraka

Adakah kau telah membuang jauh keimanan terhadap keelokan surga yang tak kunjung kau temui

Ataukah selembar daun surga itu, bubuk-bubuk kehancuran dan jarum-jarum suntik tajam telah lebih dulu merayumu

Hingga kini kau dicampakkannya dari taman surga

Dan menderita . . .

Ingatlah fatwa-fatwa keagamaan yang kan selalu menemanimu dalam temaran malam

Bacalah kembali firman-firman Tuhan yang kan terus menuntunmu pada surga yang abadi

Dan bukalah mata hatimu menatap kebenaran yang telah ada

Aku tak lagi sanggup melihatmu menderita dalam dekapan barang-barang nista

Kini, genggamlah erat tanganku menapaki lorong-lorong kehidupan

Dan kita tertawa bersama . . .

krapyak, 20, Juni, '09