SELAMAT DATANG PARA PECINTA SENI DAN SASTRA

hidupkan dunia Seni dan Sastra dalam jiwamu OX ! ?

Kamis, 13 Agustus 2009

RESAH DI PEREMPATAN MALIOBORO

Kusaksikan pengendara becak terguyur keringat penderitaan

Ibu tua menggendong kain-kain lusuh menyebrangi jalan

Bapak tua menenteng tas kusam yang terbungkus debu jalanan

Ini kota besar

Jogjakarta

Tempat orang-orang sukses dan orang-orang kumuh mengadu nasib

Bukan hanya aku yang menjadi saksi

Tapi gedung-gedung tinggi tua juga melihatnya

Coba kau tengok sendiri sekarang

Di perempatan besar

Lahan para seniman jalanan menyanyikan lagu yang memang terdengar sumbang

Menjajakan kreatifitas yang kau nilai dengan uang-uang recehan

Pasar bagi para penjual rokok eceran yang ku hisap asapnya

Aku memang tak ingin seperti mereka

Namun, aku masih akan melihatnya dengan "KEDUA MATA"


MALIOBORO 12 Agustus '09

Pekik Suara "MERDEKA"

Merdeka . . .

Bisik rembulan tatkala malam datang

Senyumnya seakan bangga kepad para pejuang

Tangisnya seolah mencium bau amis darah pahlawan yang sia-sia terbuang

Merdeka . . .

Pekik mentari dikala pagi menyambut

Sinarnya bak lentera penerang di tengah gelapnya kabut

Ia seakan ikut merasakan riangnya hati di saat menang perang

Merdeka . . .

Teriak riang gelombang di laut lepas

Degur ombaknya menggambarkan semangat para pahlawan yang kini tak lagi dapat bernafas

Gelombang yang tak henti-hentinya menari di atasnya, turut menyertai kegembiraan kibaran merah putih

Mereka semua menjadi saksi bisu dentuman meriam yang pernah menggelegar di atas bumi pertiwi ini

Mata mereka tak luput menyaksikan barisan kapal perang yang tak lagi mengenal dosa

64 tahun sudah Indonesiaku melewati masa pedihnya

Ribuan jiwa telah menjadi penebusnya

Darah tak ada lagi harganya

Hanya untuk menyerukan satu kata

"MERDEKA . . . ! ! ! "

Merdeka bangsaku . . .

Hidup negeriku . . .

Pekik hati kecilku


Djogdja Agustus

Minggu, 09 Agustus 2009

SELEMBAR CINTA DALAM KABUT DUKA

Setelah kurang lebih satu tahun kota ini dilanda bencana alam, kini menyisakan beberapa duka di hati para keluarga korban yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh keluarganya. Entah apa kehendak Tuhan di balik semua ini. Namun Jawaban dari Itu semua ada di dalam benak masing-masing mereka yang menjadi korban keganasan alam tersebut.

“Nak, sabar ya nak …” tetangganya mencoba menasihati Anwar yang saat itu ditinggal oleh kedua orang tuanya untuk selama-selamanya. Orang tuanya meninggal karena tertimpa bangunan saat gempa bumi terjadi setahun yang lalu.

“mungkin Tuhan memberikan jalan terbaik lewat semua ini”. Tetangganya melanjutkan nasihatnya. Namun Seketika itu tersirat dalam benaknya sebuah pertanyaan yang cukup membuatnya gila,

“Tuhan mana yang mereka maksud? Adakah Tuhan yang tega membuat hambanya menderita begitu saja tanpa memberi pertolongan di kemudian hari?”.

“kak. . .,” tiba-tiba lamunannya buyar. ketika adiknya, Agus yang baru pulang sekolah memanggilnya. Dialah satu-satunya keluarga sekaligus harapan Anwar yang tersisa. Kini ia sedang duduk di bangku SMP.

“ada apa? Bagaimana sekolahmu hari ini?” jawabnya sambil menoleh ke arah adiknya.

“begini kak. Tadi di sekolah ada pengumuman, besok anak-anak yang belum membayar bulanan sekolah supaya melunasi. Kalau nggak, ya nggak boleh ikut ujian test. Termasuk aku”. Mendengar ucapan adiknya, Anwar mendesah meghela napas panjang.

“iya, besok kakak usahakan. Sekarang kamu makan dulu gih sana. . .!!”. semenjak saat gempa terjadi, dialah yang menjadi tulang punggung keluarga, termasuk membiayai adik yang satu-satunya dan masih bersekolah. Karena itu pula ia terpaksa berhenti dari kuliah dan memilih bekerja -- walaupun hasilnya tidak begitu mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua.

Sebenarnya orang tua mereka berdua sebelum meninggal dunia adalah seorang pegawai negeri sipil, namun entah apa sebabnya mereka tidak mendapat tunjangan biaya santunan dari pemerintah setempat seperti halnya yang lain.

“kemana tanggung jawab mereka yang menjadi penguasa Negara ini, setelah mereka membuat undang-undang tentang hak pendidikan bagi setiap rakyatnya? Kemana janji-janji palsu yang keluar dari mulut busuk mereka?” gumamnya dalam hati, ketika ia sedang beristirahat setelah bekerja. Sambil menyeka keringat yang mulai membasahi wajahnya yang tampak legam tersengat sinar matahari.

Maklum, Kini ia harus bekerja walau menjadi kuli yang tak menjamin hidupnya. Namun apa boleh buat. Kalu tidak begitu, dia pasti tidak bisa membayar biaya sekolah adiknya yang semakin lama semakin membuat kantongnya kekeringan.

“Mas, bagaimana kabar Agus?” Tanya Oktavia suatu ketika di sela-sela waktu istirahat kerja kepada Anwar. Oktavia adalah anak satu-satunya mandor tempat Anwar bekerja. Kini dia masih duduk di bangku kuliah smester tiga. Namun, meski Oktavia anak seorang yang berekonomi level menengah ke atas, ia selalu menunjukkan sikap santun dan selalu memberi perhatian lebih kepada siapapun, terlebih Anwar. Entah karena factor apa yang membuat Oktavia member perhatian lebih kepada Anwar, mungkin factor rasa yang maklum timbul antara dua insan yang berlainan jenis. Yaitu CINTA.

“Ehm, kabarnya baik-baik saja”. Jawabnya agak grogi.

“terus bagaimana dengan sekolahnya?”. Tanya Oktavia kembali.

“itulah yang membuat aku bingung”.

“bingung bagaimana? Apa masalah biaya?”. Anwar menganggukkan kepala sambil mengutarakan keluhan yang selama ini ia pendam, tentang biaya pendidikan yang semakin tidak tau dengan kondisi ekonomi rakyat miskin.

Setelah mendengar keluhan Anwar, kemudian Oktavia merogoh kantongnya dan memberikan beberapa lembar uang kertas kepadanya. Namun dengan halus Anwar menolaknya,

“tidak usah, biar untuk tabungan kamu saja. Lagian saya kan tidak pantas menerima kayak beginian dari kamu. Saya kuli, sedangkan kamu anak bos saya”. Lalu Oktaviapun memasukkan uangnya kembali ke dalam kantong sambil merasa sedikit kecewa. tapi ia masih sedikit mengerti dengan sifat Anwar yang seperti itu.

Namun sebelum Anwar beranjak pergi untuk bekerja kembali, Oktavia memanggilnya kembali,

“Mas,”. Anwar menoleh.

“tetaplah tabah dengan semua ini. yakinlah, semua adalah jalan yang terbaik bagi kehidupan yang dipilihkan oleh Tuhan untuk kita sebagai makhluk-Nya”.

“ya, semoga saja dugaan Mbak benar”. Jawabnya sambil tersenyum beku kepada Oktavia, lalu dibalas dengan senyum tulus yang tersungging dari bibir manis Oktavia pula.

Suatu malam, tak disengaja ketika Anwar dan Oktavia sedang duduk-duduk menikmati kopi di warung kopi dekat rumahnya, mereka mendengar suara-suara tukang becak yang sedang menumpang istirahat di situ.

“bagaimana janji-janji si Parjo yang sekarang sudah duduk enak di pemerintahan itu? Katanya dia akan lebih memperhatikan pendidikan anak-anak bangsa. Tapi sekarang mana buktinya?”.

“iya, masak sebentar-sebentar si Jol anak saya itu sudah minta duit, yang untuk bayar itulah, inilah. Yang buku lah. Kan saya yang pekerjaannya Cuma dagang kayak beginian ya ngerasa bingung juga”. Ibu tukang kopi itu ikut meberi komentar tukang becak tadi.

Namun Anwar kemudian tak memperdulikan perkataan-perkataan tukang becak tadi. Ia lebih memilih menikmati kopi yang sedari tadi sudah ada di depannya sambil memikirkan sesuatu.

“memang benar apa yang selama ini aku rasa dan pikirkan. sama seperti apa yang mereka rasa dan pikirkan”. Ucapnya membuka pembicaraan dengan Oktavia.

“benar apanya? Mereka siapa?”. Oktavia bingung menanggapi perkataan Anwar yang tiba-tiba.

“mereka, para tukang becak itu. Bukankah dari tadi kamu mendengarnya juga?”

. “Iya,Tapi mereka yang dikatakan oleh tukang becak itu tidak bisa disalahkan begitu saja dong”. Keduanya mulai berdialog, seolah-olah kata-kata mereka yang nantinya akan menjadi referensi pemikiran para pejabat dalam melangsungkan program pemerintahannya.

“ya, memang mereka tidak bisa disalahkan begitu saja. mungkin karena system pendidikan yang ada yang sudah mencetak mereka seperti itu. System pendidikan yang membentuk mereka terlalu mengandalkan hasil, bukan proses. Dan system itu yang harus dirubah”.

“ya, ya, berarti bukan mereka saja yang harus kita salahkan, tapi keduanya yang harus kita salahkan. Yaitu system yang mendidik mereka dan mereka sendiri yang tidak pernah paham dengan norma-norma yang pernah mereka kaji sewaktu mereka masih mengenyam bangku pendidikan”. Oktavia menanggapi dengan semangat. “dan aku besok akan coba bantu membawa pemikiran dan cita-cita kamu itu ke khalayak ramai”.

“tapi bagaimana caranya? sekarang bukan moment yang pas untuk bahas yang beginian. Hari pendidikan masih lama”. Anwar bertanya kebingungan.

“perubahan bagiku tidak harus menunggu moment yang tepat. Dimana kita ada waktu, di situ kita bisa berbuat untuk perubahan yang positif. System pendidikan seperti kata kamu tadi, memang sudah seharusnya dirubah”. Oktavia seolah bulat dengan tekadnya mengusung perubahan system pendidikan.

“apa kamu yakin?”. Anwar sedikit meragukan.

“ya nanti aku coba usahakan”. Oktavia meyakinkan.

Kemudian mereka berdua saling diam. Keduanya asyik dengan pikiran mereka masing-masing. Dalam lamunannya, Anwar mengingat sesuatu yang pernah ia baca sewaktu ia masih duduk di bangku sekolah beberapa tahun yang lalu. Ia pernah membaca bahwa orang Indonesia sendiri pernah mencetuskan konsep pendidikan yang memungkin dapat menciptakan manusia yang berkualitas dalam pendidikan. Yaitu Bapak Pendidikan nasional, Ki. Hadjar Dewantara, Namun dalam prakteknya, sekarang konsep pendidikan tersebut malah dipakai oleh orang-orang Singapore. Yang sampai saat ini menjadi Negara itu telah menjadi Negara yang lebih hebat dibanding Negara Indonesia. Padahal seharusnya konsep pendidikan yang telah dicetuskan oleh beliau itu tidak hanya menjadi konsep saja di Indonesia, tetapi menjadi system yang membangun dalam pendidikan.

“beginilah jadinya kalau suatu Negara tidak menghargai ilmuwannya sendiri. Dia tidak akan maju dan berkembang. Apalagi ini dalam hal pendidikan. Padahal pendidikan adalah hal yang paling vital yang harus terutama dipikirkan oleh suatu bangsa. Bahkan kemajuan suatu bangsa bergantung pada pendidikannya. Tapi bagaimana mereka yang duduk di atas sana bisa memikirkan dan peduli dengan semua ini? Sedangkan dilihat dari anggaran belanja yang mereka keluarkan saja mereka lebih mementingkan hal yang tidak penting dibandingkan pendidikan”. Gumamnya sendiri. Sebelum akhirnya mereka meninggalkan kedai kopi yang semakin ramai pembeli.

Anwar saat ini memang bukan orang yang masih aktif terlibat dalam dunia pendidikan. Namun meski begitu, ia salah satu orang dari mereka yang masih peduli dengan masa depan bangsanya. Termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab sebelum ia berhenti dari dunia pendidikan akibat bencana alam, ia sempat mengenyam pendidikan kuliah dan tergolong mahasiswa yang aktif dan kritis. Jadi maklum jika saat ini ia kritis dan masih peduli dengan masa depan Negara tempat anak cucunya mencari sesuap nasi kelak.

Namun Cinta, keindahan dan kebahagiaan bukanlah hanya milik mereka yang bergelimang harta saja. Tapi semua itu berhak dimiliki oleh siapapun. Termasuk Si Anwar.

Malam minggu seusai pulang kerja, tiba-tiba Oktavia dengan mobil hitamnya sudah ada di depan rumah sederhana tempat Anwar dan adiknya tinggal.

Tin tin . . .

suara klakson mobilnya terdengar dari dalam rumah Anwar. Buru-buru adik Anwar menyingkap kain yang menutupi jendela rumah mereka.

“siapa Dik?” Tanya Anwar.

“itu seperti mobil kak Okta”. Jawab adiknya.

Tak lama kemudian Nampak Oktavia turun dari mobilnya. Anwar langsung membuka pintu rumahnya.

“tumben main kesini?” Tanya Anwar basa-basi.

“ya sekali-kali nggak apa kan? Sambil mau ngajak Agus jalan-jalan”. Jawab Oktavia sambil menjulurkan tangan, mengajak berjabat tangan dengan Agus.

Setelah mereka bersiap-siap, lalu mereka meluncur menikmati suasana kota dimalam yang cerah, sebelum akhirnya menuju ke pusat perbelanjaan kota. Sesampainya di sana, Oktavia menyuruh Agus menikmati permainan-permainan atau sekedar jalan-jalan. sedang mereka berdua duduk di antara orang-orang yang duduk sambil menikamati minuman.

Setelah mereka berdua saling diam, akhirnya Anwar membuka pembicaraan.

“bagaimana kabar keluarga?”.

“sehat”. Jawab Oktavia singkat.

Mereka saling bungkam kembali. Tapi tiba-tiba mereka berdua saling bertabrakan kata ketika hendak membuka pembicaraan kembali. Lalu Mereka saling mempersilahkan mengatakan apa yang akan mereka katakana tadi. Akhirnya Oktavia mengalah dan mulai berbicara.

“Mas, kamu pernah tau apa yang namanya cinta?”. Oktavia bertanya dengan sedikit tersipu malu.

“maksud kamu cinta yang bagaimana?”. Jawab Anwar sok lugu.

“ya . . ., itu ehm”, jawab Oktavia ragu dan serba salah tingkah.

“memang kamu selama ini belum pernah merasakan indahnya cinta, yang kebanyakan orang katakan bisa membuat kita selalu tersenyum ketika kita selalu bersamanya?”. Lanjut Oktavia sedikit menjelaskan.

“kalau yang begituan setiap orang pasti pernah mengalaminya”. Komentar anwar singkat dan sok tau.

“kalau kamu bagaimana? Apa kamu saat ini sedang merasakan yang namanya cinta itu kepada seseorang?”. Oktavia terus bertanya memancing Anwar untuk mengatakan sesuatu yang ia harapkan. “dan apakah orang itu ada di sekitar kamu?”.lanjut Oktavia.

“ehm . . Iya, ada”. Anwar sedikit gugup “dan saya rasa itu cukup memalukan bila saya harus berterus terang”.

“terus apakah orang itu saat ini ada di sini? Ehm . . . dan apakah orang itu aku?”. Oktavia memaksa memberanikan diri. Kemudian ia tertunduk malu disertai senyum tulus.

“iya”. Anwar menjawabnya dengan yakin tanpa sedikitpun ragu yang terbersit dalam batinnya.

“dan sebenarnya aku malu untuk mengatakannya sejak awal. Karena aku masih memandang status social antara kita yang terkadang menjadi penghalang”. Anwar meneruskan pembicaraan.

Kini mereka berdua membisu dengan haru biru kebahagiaan yang meyelimuti jiwa-jiwa mereka yang telah lama larut dalam tanda Tanya keraguan dan kebimbangan. Saat ini semua pertanyaan tentang cinta yang membelenggu batin mereka berdua telah terjawab. Sekarang cinta telah merajut kebahagiaan baru dalam hidup mereka.

Akhir semester pertama. bertepatan menjelang tahun baru, sekolah Agus akan mengadakan study tour. Tentu Anwar repot memikirkan biaya adiknya untuk mengikuti kegiatan wajib dari sekolah itu. Setelah mencari pinjaman ke sana kemari, tak juga ia mendapatkan jumlah yang telah ditetapkan oleh sekolah untuk membayar biaya study tour.

Setelah pikir panjang, akhirnya ia memtuskan untuk meminjam kepada mandor tempat kerjanya. Orang tua Oktavia.malam itu juga.

Takdir tidak dapat diubah, ajal tak dapat lagi ditawar dan dibantah. Dan keadilan di dunia tak mesti berpihak kepada kebenaran.

Ting tong . . .

Anwar menekan tombol bel rumah mandornya. Tapi setelah lama ia menekan bel berkali-kali, tak ada juga jawaban dari dalam rumah. Tiba-tiba ia merasa curiga kalau-kalau telah terjadi apa-apa di dalam. Tanpa berpikir panjang, akhirnya ia mencoba mendobrak pintu hingga terbuka.

Jantungnya berhenti berdetak, kakinya gemetar seakan tak sanggup lagi menopang tubuhnya. dan matanya meneteskan air mata tanpa ia sadari. Dugaannya benar. Rumah mandornya telah disatroni oleh para penjahat. Seluruh keluarga mandornya mati terbunuh dengan tak wajar. Pandangannya terpaku pada sosok tubuh bergelimang darah di depannya. Sosok yang ia kenal dan ia cintai selama ini. Sosok yang membuat hidupnya kian berarti. Diraihnya tubuh itu, ia peluk erat.

“Okta, mengapa ini terjadi? Siapa yang melakukan semua ini?”. Anwar sedikit berteriak panik.

“Anwar, maafkan segala kesalahanku. aku belum sempat mewujudkan cita-citamu”. Anwar masih diam mematung tak menghiraukan kata-kata Oktavia lagi, karena pikirannya sedang carut marut. Kemudian Oktavia meneruskan ucapannya sambil sedikit tersendat,

“mungkin Tuhan tak mengijinkan kita untuk bersama di dunia . Tuhan tak izinkan aku menyertai hidupmu. Tapi yakinlah cintaku, cinta kita yang akan menyatukan kita di kemudian hari dan akan mewujudkan impian kita bersama”. Oktavia menghembuskan nafas terakhir dalam pelukannya.

“Okta . . . bangun . . .” teriak Anwar sambil memeluk erat tubuh yang tak lagi bernyawa itu hingga ia jatuh pingsan karena tak kuat menahan duka yang sangat mendalam menusuk ulu hatinya.

“angkat tangan !!!”. teriak salah seorang polisi yang baru datang dan berdiri tepat di belakangnya, ketika ia sudah mulai siuman.

“Anda kami tangkap”. Polisi itu mengeluarkan borgol dan menjeratkan di kedua tangan Anwar

“bukan saya pelakunya pak”. Anwar berusaha membela diri.

“anda jelaskan di kantor saja nanti”. Polisi itu memberi instruksi.

Dengan tangan terbogol, Anwar digelandang ke kantor polisi tanpa bisa memberi keterangan. Di sana ia langsung dimasukkan ke dalam jeruji besi. Hari berganti hari, ia menjalani proses hukum. Namun dengan dalih tidak ada tersangka lain yang polisi temukan dalam insiden ini. Akhirnya ia divonis penjara.

Tak selang lama beberapa hari ia berada dalam penjara. Duka dan luka yang menimpa dirinya belum hilang, bertambah dengan duka baru yang harus ia terima dengan lapang dada. ia mendapatkan surat dari kerabat dekatnya bahwa adiknya telah meninggal dunia karena bunuh diri. Mereka juga memberikan surat yang ditulis oleh adiknya sebelum melakukan tindakan nekad itu. mereka menemukannya di sebelah tempat adiknya terbujur kaku.

Dalam suratnya tertulis ucapan terimakasih kepada kakanya . ia lakukan semua ini karena ia merasa malu kepada teman-temannya tidak dapat mengikuti study tour dan ia merasa tak ada masa depan lagi untuk hidupnya.

Setelah membaca surat, kemudian ia melipatnya sambil menyeka air mata yang sudah membasahi pipinya. Di alam pikirnya terbayang senyum bangga adik kesayangannya ketika adiknya mendapat juara di sekolah waktu itu. Ia memeluknya dengan harapan kelak adiknyalah yang membawa negeri ini menjadi negeri yang besar. Namun mimpi tinggallah mimpi, ia relakan mimpi itu pergi bersama indah pelangi.

Hiruk pikuk meriahnya tahun baru terdengar hingga ke seluruh sudut kota. Mereka, para gembel pun ikut menari merasakan kegembiraan pesta pergantian tahun. Namun saat ini Anwar hanya mampu meneteskan air mata duka yang tak kunjung kering. Ia terpekur dalam bui yang sepi penuh kehampaan. Yang menari dalam benaknya hanyalah bayangan-bayangan senyum semu yang tersungging dari bibir orang-orang yang ia sayangi . Adiknya tercinta dan Oktavia yang selama ini membuat hidupnya begitu berharga. Tapi sayang, kini mereka semua berada di alam yang berbeda dengan begitu banyak meninggalkan kenangan manis dalam kehidupan Anwar.

Meski semua itu telah berlalu, cita-cita Anwar bagi masa depan bangsanya tidak begitu saja lusuh diterpa angin duka yang bertubi-tubi datang menghampirinya. Ia masih berharap kan selalu ada system pendidikan yang mencetak generasi-generasi bangsa yang selama ini ia cita-citakan. yang akan membawa perubahan bagi negerinya yang kian terpuruk. Desir angin dan suara-suara malam ia biarkan membawa semua mimpi dan cita-citanya berjalan mengikuti masa yang terus bergulir mengikuti perjalanan waktu.

###### (21 Mud@) #####

“ Nestapa Hati Yang Luka”

Tampak bayang yang selalu menari

Mengikuti alunan bunyi mercusuar

Terkadang bimbang mengartikan suara yang tak berarah

Sunyi menghampirinya kembali

Meski di ambang kegelapan ia terus meraba

Mencari gemercik suara air yang membuatnya terus merasa dahaga

Di tengah teriknya panas ia terus membelalakkan mata

Mengendus-endus letak bau sepotong keju yang masih berasap

Yang terus membuatnya lapar

Deritanya tak kunjung usai

Tangis hatinya kian menjadi-jadi

Seakan tak akan pernah meraba eloknya bentuk surga

Dan tak pernah menjilat lezat manis rasanya jua

Oh . . .

Hati nestapa, inikah deritamu . . . ?

Ataukah ini yang mereka sebut-sebut balasan sebuah karma

Yang membuatmu terus merana.

### (21 Muda@) ###

Jiwa Yang Dahaga

Pagi kau lantunkan kalam-Nya

Malam kau selalu bersimpuh di hadap-Nya

Kau serahkan jiwa dan ragamu hanya untuk-Nya

Namun, kau masih merasa tak ada waktu untuk-Nya

Mentari terbit, hatimu berteriak

"oh Tuhan, mengapa kau ciptakan neraka??"

Ketika rembulan tersenyum, suara paraumu berkata

"terimakasih Tuhan, kau telah ciptakan surga untuku"

Pendapa Tamansiswa '08