SELAMAT DATANG PARA PECINTA SENI DAN SASTRA

hidupkan dunia Seni dan Sastra dalam jiwamu OX ! ?

Selasa, 28 Juli 2009

Ketika Bidadariku Beranjak Pergi


Entah mengapa sesuatu yang tidak kita harapkan selalu datang menemui kita. Kita tidak pernah tau kapan dan mengapa Tuhan harus bertindak demikian. Terkadang kita juga tidak pernah menyadari bahwa itu adalah pilihan Tuhan yang terbaik untuk kita. Kapan Tuhan berkehenda saat itulah kita harus menerimanya dengan lapang dada. Begitulah hidup. Selalu, harus mengikuti kehendak Tuhan.

Dimalam gerimis yang sepi, Ferza terdiam melamun di depan komputer. Ia tak tau harus menulis apa di layar monitornya. Pikirannya sedang kusut. baru saja siang tadi di sekolah, Ana berbicara padanya bahwa liburan sekolah besok, Ana tidak bisa mengikuti jalan-jalan wisata bareng yang diadakan oleh sekolah. Karena pada hari itu Ana harus ikut dengan orang tuanya berlibur di kampung tempat kakek dan neneknya tinggal.

“Fer, kamu liburan besok jadi ngikut jalan-jalan bareng anak-anak nggak?”

“ya jadi lah. . . lha kamu pasti jadi ikut juga kan?” jawab Ferza.

“kalau aku kayaknya nggak bisa ikutan dech. . .”

“lho, memangnya kenapa?”

“karena aku harus ikut ma Ortuku ke kampung tempat nenekku. Kan kami juga udah lama nggak pernah berkunjung ke sana”.

Ferza terdiam merunduk kecewa. Dalam pikirannya terbesit beberapa pertanyaan. Apakah Ana telah lupa dengan rencana-rencana yang dulu pernah mereka berdua bicarakan?. Dulu mereka merencanakan, jika liburan dan jalan-jalan yang diadakan oleh sekolah jadi dilaksanakan, mereka berdua akan duduk sebangku ketika di dalam bus. Dan Ana juga berjanji akan menemani Ferza mencari oleh-oleh ketika pulang dari wisata tersebut. Bahkan mereka berdua berjanji tidak akan menyia-yiakan waktu yang mungkin akan menjadi sejarah setelah mereka tua nanti. menghabiskan waktu liburan bersama teman-teman.

Pembagian raport akan dilaksanakan pagi ini. Ferza buru-buru mandi dan bersiap-siap untuk mengantar ibunya yang sengaja datang dari luar kota untuk mengambil raport di sekolah Ferza--Karena di kota ini, ia hanya pendatang sebagai penimba ilmu. Selain mengantar ibunya, ia juga bermaksud untuk menemui Ana untuk membicarakan sesuatu kepadanya. Sesampainya di sekolah, ia menjumpai beberapa teman-temanya beserta para orang tua yang sedang menunggu acara pembagian raport dimulai. Namun ia belum melihat Ana menampakkan batang hidungnya. Setelah beberapa waktu Ferza menunggu, akhirnya Ana muncul juga. Dari kejauhan tampak Ana dan ibunya sedang turun dari mobil hitamnya.

Buru-buru Ferza memanggil Ana yang sedang berjalan menuju tempat acara pembagian raport.

“Ana. . .,” Ana kelihatan celingukan mencari-cari suara yang memanggil namanya.

“Ana, aku di sini”. Ferza kembali memanggilnya dan melambaikan tangan ke arahnya.

“hai, sory. Aku nggak tau. Kamu udah dari tadi ke sini?”. Ana menghampiri Ferza sambil cengar-cengir.

“ya, agak dari tadi. Kamu kapan jadi berangkat ke kampung nenek kamu?”

“ya jadi. Paling kira-kira nanti sore sekitar jam 5 an”.

“nanti sore?!!” Ferza kembali bertanya dengan nada kaget.

“iya. Memang kenapa? Kok kamu kelihatan kaget gitu. Kamu nggak apa-apa kan?”.

“menurutku lebih baik kamu jangan berangkat hari ini deh”.

Ana mengernyitkan dahi pertanda bingung dengan ucapan Ferza barusan. “memangnya kenapa sih . . .?”

Namun Ferza terdiam lesu seakan tak setuju dengan pilihan Ana. Ferza khawatir dengan keadaan Ana. Karena tiga malam berturut-turut , Ferza selalu bermimpi tentang Ana yang mengalami kecelakaan ketika berlibur ke rumah neneknya itu. Ia takut jika ternyata nanti mimpinya terjadi. Dan Ana akan pergi meninggalkan dirinya bukan untuk hari itu saja. Tapi untuk selama-lamanya.

Dalam mimpinya Ferza melihat, mobil yang ditumpangi Ana beserta keluarganya terjun ke dalam jurang. Dan akhirnya Ferza melihat Ana melambaikan tangan tanda perpisahan dengan wajah berlumur darah kepada Ferza. Awalnya mimpi itu hanya dianggap bunga tidur saja oleh Ferza. Namun setelah mimipi itu terulang hingga tiga malam, Ferza semakin berfikir bahwa mimpi tersebut adalah sebuah isyarat baginya. Tapi hari itu Ferza tidak mau mengatakan tentang mimpi itu kepada Ana.

Ibu Ana datang menghampiri mereka setelah mengambil raport dan kemudian mengajak Ana pulang. Lalu mereka berpamitan kepada Ferza.

“aku pulang dulu ya. Dah, nggak usah dipikirin, aku pasti baik-baik aja kok” ucap Ana yang kemudian pergi mengikuti ibunya.

Ferza mengangguk berat. dalam pikirnya berkata, mungkin ini adalah akhir dari pertemuan mereka berdua. Melepas kepergian Ana pada hari itu, seolah-olah Ferza akan melepas separuh jiwanya dari raganya. Selangkah demi langkah kaki Ana, Ferza terus mengikutinya hingga Ana masuk ke dalam mobil.

Dalam pikran yang berkecamuk itu, Ferza kembali mengingat kejadian ngeri yang pernah ada dalam mimpinya tentang Ana dan keluarganya. Tapi ternyata ia tak kuat menahan kesedihan itu. Ia coba mengalihkan pikirannya kepada kenangan-kenangan indah yang pernah mereka berdua ukir. Ferza mencoba memutar kembali memori tentang kenangan-kenangan yang pernah terekam dalam pikirannya. Untuk menepis angan buruk yang menyelimutinya ketika itu.

Awal pertama kali mereka saling akrab, yaitu ketika mereka berdua sedang mendapat hukuman dari guru piket karena terlambat masuk sekolah. Mereka berdua mendapat hukuman berjemur di depan tiang bendera di lapangan sekolah.

“Lho, kamu kok tumben terlambat? Biasanya berangkatnya sebelum ayam jago bangun?” Ferza membuka perbincangan.

“kamu juga tumben terlambat? Biasanya kamu berangkatnya sehabis Isya’?”. Ana tak mau kalah memberi jawaban yang kreatif. Sambil diiringi gelak tawa mereka berdua.

Setelah adanya hukuman tersebut, Ferza dan Ana menjadi saling akrab. Entah apa sebabnya. Keman-mana mereka selalu berdua seperti dua mata uang logam yang tak dapat terpisahkan. Lama menjalani keadaan seperti itu, mereka berdua akhirnya termakan pribahasa orang Jawa. Withing Trishna Jalaran Saka Kulina. Tumbuhnya rasa Cinta karena sudah terbiasa.—begitu kurang lebih artinya.

Beberapa minggu kemudian Ferza mengungkapkan perasaannya kepada Ana. Anapun memberi respon positif kepada Ferza. Akhirnya mereka resmi menjadi merpati yang saling mengikat janji. Tertaut dalam sebuah perjanjian cinta. Hari-hari selanjutnya bagi mereka semakin terasa begitu indah. Suka-duka, panas-dingin dan pahit-manis dunia selalu mereka rasakan bersama. Saling mengerti adalah kunci kebersamaan mereka. Ketika Ferza mendapatkan suatu masalah, maka Ana selalu mencoba memberi solusi kepada Ferza. Begitupun sebaliknya.

Suatu hari Ferza duduk melamun di bawah pohon di halaman sekolahnya, saat itu ia sedang dilanda masalah dalam keluarganya. semenjak ibunya berpisah dengan ayahnya karena meninggal dunia, ia selalu berharap Tuhan kan memberikan penggantinya. Sebab dirinya terkadang merasa iba kepada ibunya. Menjadi single parent dan membiayainya yang sedang sekolah di luar kota.

Tiba-tiba Ana datang menepuk punggungnya dari belakang sambil berkata.

“kamu kenapa lagi? Masih masalah itu?”.

Ferza mengangguk dan kemudian berbicara.

“sudah berapa lama aku ini berdo’a pada Tuhan?? Tapi mana jawabannya??”

“Sabar, mungkin Tuhan memilih jalan ini karena Dia akan memberikan hal yang lebih kamu butuhkan dibanding apa yang kamu inginkan. Tuhan tidak akan memberikan apa yang kita inginkan, tapi Dia akan memberikan apa yang kita butuhkan. Jika itu menurut-Nya adalah yang terbaik bagi hamba-Nya”.

Kata-kata itulah yang membuat sedikit memotivasi hidupnya dalam menghadapi masalah tersebut. Perkatan Ana cukup sejuk bagi jiwanya yang kalut. Sejak saat itu Ferza selalu mencoba memaknai setiap hal yang diberikan Tuhan kepadanya.

Setelah beberapa hari kepergian Ana berlibur bersama keluarganya ke kampung neneknya, perasannya tiba-tiba merasa tak enak. Berkali-berkali kakinya tersandung ketika berjalan. Dan tak lama kemudian, handphonenya berdering. Tak menunggu lama-lama ia langsung mengangkatnya. Dari ujung telpon terdengar suara isak tangis.

“hallo, ini siapa ya?” Ferza mencoba mencari tau siapa yang menelponnya.

“hallo, ini Ferza? Saya mbaknya Ana. Anita. Kami sekarang sedang di RSUD kota. Kamu bisa kesini sekarang nggak? “.

“bisa mbak. Memang ada apa?” Ferza penasaran plus panik.

“nanti mbak jelasin di sini”.

Secepat kilat Ferza menyambar kunci motornya yang tergantung di dekat pintu kamar kosnya, dan langsung melesat ke RSUD tempat yang dimaksud Anita. Kendaraan yang tinggal satu dua di jalanan tak lagi ia hiraukan. Pikirannya hanya tertuju pada seorang yang ia sayangi. Ana. Ia coba menepis pikiran negatif yang menghampirinya. Ferza takut jika mimpi yang berkali-kali pernah bersemayam dalam tidurnya akan menjadi kenyataan, dan itu akan menoreh luka yang sangat pedih di hatinya.

Sesampainya di halaman rumah sakit, hatinya berdebar keras sekali. Keadaan seperti itu membuat batinnya semakin penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang harus ia jawab TIDAK. Di ruang tunggu, Ferza melihat keluarga Ana yang sedang duduk dengan ekpresi yang lain dari biasanya.

Ferza bingung, siapa di antara keluarga Ana yang harus ia sapa terlebih dahulu. Anita pun seakan ragu untuk menyapa Ferza. Kemudian sedikit memberanikan diri Ferza memaksa menghampiri Anita dan kemudian bertanya.

“Mbak, Ana di mana? Apa yang terjadi dengannya?”

Anita masih terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya. Anita masih ragu apa yang harus ia katakan kepada Ferza, agar Ferza dapat menerima kenyataan yang telah terjadi.

Ferza mengulang pertanyaannya.

“Mbak, Ana di mana???” nada bicara Ferza sedikit memaksa untuk membuat Anita menjawab pertanyaannya.

“mari ikut Mbak ke ruangan Ana” jawab Anita sambil menggandeng tangan Ferza menuju ke ruangan tempat jasad Ana berada.

Sambil mengikuti langkah kaki Anita, seribu pertanyaan yang sedari tadi menguntitinya kembali datang dalam otaknya. Namun ia terus mencoba mengusirnya.Sesampainya di depan ruangan yang mereka tuju, Anita membukakan pintu mempersilahkan Ferza masuk ke dalam ruangan tersebut, dan Anita hanya berhenti di depan pintu. Anita tak sanggup lagi melihat jasad adiknya yang telah terbujur kaku itu.

Ketika Ferza masuk ke dalam ruangan, jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Karena yang ia lihat saat itu bukanlah wajah Ana yang sedang tersenyum menyambut kedatangannya. Namun yang ia saksikan ketika itu adalah sebujur jasad kaku yang tertutup kain putih. Setelah ia mendekati dan mencoba menyibakkan kain putih yang menutupi wajah jasad tersebut, tiba-tiba tangannya gemetar, air matanya menetes tak dapat terbendung lagi. wajah Ana yang tampak pucat putih terpampang jelas di depan matanya. Ingin rasanya ia berteriak dan menolak kenyataan ini. Namun apalah daya. Ajal tak lagi dapat dihindarkan. Takdir yang telah tertuliskan tak mungkin dapat dihapus dan digantikan.

Kematian Ana sangat memukul batinnya. Ingin rasanya Ferza memutar waktu kembali. Menafikan apa yang telah terjadi. Tapi hanya merenungi takdir Tuhanlah yang mampu ia perbuat saat ini. Kota kecil yang selama ini menjadi saksi kisah mereka berduapun kini hanyalah tanah mati. Tak dapat menceritakan semua yang telah terjadi.

Hari itu cuaca tak bersahabat. Gerimis mebasahi tiap jengkal tanah yang terhampar di atas kota kecil itu. Langit seolah ikut menangis berkabung menyaksikan kepergian seorang wanita yang akan menghadap ke hadirat Tuhan. Bacaan do’a dan tahlil tak henti-henti mengiringi upacara pemakaman. Ferza yang sedari tadi mengikuti perjalanan upacara tersebut tak berhenti menyeka air mata yang tak diharapkan kehadirannya di pelupuk matanya.

Upacara pemakaman dan do’a-do’a telah selesai dilaksanakan. Para pelayat satu persatu mulai meninggalkan pemakaman. Setelah pemakaman tampak sepi, Ferza belum juga beranjak pergi meninggalkan persemayaman terakhir Ana. Ia tertunduk lesu di depan batu nisan. Tak ada hal lain yang kini dapat ia lakukan kecuali menangis dan menyesali semua yang telah terjadi.

Dalam hidupnya, baru kali ini ia merasakan kehilangan hingga membawa pergi separuh dari jiwanya yang ada. Begitu menyiksa memang. Namun kenyataan datang untuk dihadapi. Bukan untuk dihindari. Hatinya mencoba meyakini bahwa di balik yang terjadi pasti ada yang kan datang menghampiri. Yaitu kebahagiaan yang tersimpan.

Malam hari setelah upacara pemakaman, kota kecil ini diguyur gerimis. Seluruh isi alam seakan ikut merasakan kesedihan mengringi kepergian seorang bidadari hati bagi seorang Ferza. Malam itu Ferza menghempaskan tubuhya ke atas kasur tidurnya. Ia mencoba menutup mata mencoba mengubur duka yang sedang ia alami saat ini. Baginya Ana adalah seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya. Terlalu sulit baginya membuang puing-puing kenangan yang telah mereka tebarkan.

Malam mulai merambat mengikuti perputaran denting jam. Matanya tak juga kunjung terpejam. Pikirannya jauh menerawang ke masa lalu. Hanya bayangan-bayangan wajah seorang Ana yang menyesaki tiap sudut ruang pikirannya.

Engkau telah tinggalkanku sendiri dalam bui kehampaan

Melangkahkan kaki meninggalkan dunia fana penuh kenistaan

Air mata yang tak pernah ku undang kehadirannya seakan turut membasuh hati yang telah luka

Terlalu perih untuk dirasakan

Aku bingung. . .

Apa yang harus ku jawab jika kicauan burung esok pagi menanyakanmu

Aku takut. . .

Apa yang mesti ku perbuat bila hujan yang saat itu membasahi kebahagiaan kita, terus mencarimu

Saat ini hanya melihat bayangmulah yang dapat menghapus kerinduanku

Kini hanya do’a dan cinta yang kan mengiringi kepergianmu

“Selamat Jalan Bidadariku . . . . Semoga belaian kasih Tuhan yang kini kau rasakan di alam surga nan jauh di sana . . .”

Setelah bersyair, tiba-tiba bibirnya terkatup dan beku. Mata Ferza tertutup mencoba melepas kenangan yang pernah terukir dalam jiwanya. Ia selau berharap sang waktu akan membantunya melewati semua yang tak diharap ini. Kesunyian kembali menghampirinya mengantarkannnya terbang dalam buaian sang Dewi Mimpi hingga ia harus terbangun kembali menutup kenangan yang telah hilang bersama kepedihan. Masa depan telah menantinya kembali.

***** (21 Mud@) ****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar